Darmono duduk di kursi rotannya. Dia kini hanya tinggal menunggu sang malaikat maut datang menjemputnya. sudah cukup lama dia tinggal di dunia ini. Dan dia sudah terlalu bosan. Istrinya sudah lama mendahuluinya apalagi teman-teman seperjuangannya, anaknya pun kini sudah menjadi Jendral besar di Angkatan Darat. Anaknya selalu mengajaknya untuk ikut tinggal bersamanya tapi Darmono menolak. Dia ingin tinggal di gubuk ini dan nantinya mati di gubuk ini pula. Gubuk ini penuh dengan kenangan, mulai dari menjadi markas gerilyawan, hidupnya yang penuh cinta bersama istrinya, hingga kelahiran anak satu-satunya. Dia tak mau meninggalkan atau merombak gubuk ini.
Gubuknya pun sama sekali tak teraliri aliran listrik. Dia tetap ingin mempertahankan gubuk ini seperti apa adanya, memang gubuk ini pernah ia tinggalkan sewaktu dia sudah mendapat kehidupan yang lebih layak. Tapi dia tak mau mengusik gubuk ini sedikit pun. Istri dan anaknya yang ingin menjual atau membuatnya lebih baik dia bentak-bentak.
“Tak tahukah kalian gubuk itu adalah sejarah! Gubuk itu adalah markas gerilyawan yang menjadi tumbal kemerdekaan, di gubuk itu semua kenangan tersimpan! Aku menikah denganmu dan merajut rumah tangga di gubuk itu. Kamu, Ri! Kamu lahir di sana. Tak pernah sedikit pun aku mau merombak apalagi menjual gubuk kenangan itu. Lebih baik menjual rumah ini dari pada gubuk itu. Suatu saat aku ingin menempati gubuk itu lagi dan mati di sana. Sama seperti rekan seperjuanganku yang dulu gugur dengan kebanggaan di gubuk itu.”
Dan bila Darmono sudah mengamuk seperti itu tak ada yang berani menentangnya. Sifatnya yang keras itu masih tersimpan dalam tubuhnya yang kini telah renta. Semenjak saat itu tak ada lagi yang berani membicarakan gubuk itu. Gubuk itu diserahkan kepada seseorang untuk merawatnya, tanpa boleh ada yang berubah. Bila ada yang berubah maka penjaga itu akan merasakan kemarahan sang veteran perang kemerdekaan.
Orang pasti akan mencibir bila melihat gubuk itu. Tapi para tetangga yang tahu benar siapa pemilik gubuk itu tak berani mencibir, bahkan para tetangga itu hormat dengan Darmono. Di usianya yang sudah sangat lanjut Darmono masih ikut meronda walaupun hanya sebentar. Orang-orang di sekitarnya sangat suka cerita tentang perjuangan yang terjadi di wilayah mereka itu. Darmono pun tak bersifat sombong, walaupun anaknya Jendral dia tak pernah menggunakan nama anaknya untuk membuatnya dihormati. Apalah artinya kehormatan? Dia pun menolak piagam yang diberikan atasnya oleh pemerintah. Dia melakukan perjuangan bukan untuk piagam atau uang tunjangan. Dia masih mampu membiayai hidupnya sendiri, dia berjuang untuk harga diri bangsa yang sudah lama diinjak-injak. Sama seperti rekan seperjuangannya yang mati dan tergeletak begitu saja tapi bangga dan bahagia, karena mereka mati dalam pangkuan Ibu Pertiwi. Dia akan merekomendasikan teman seperjuangannya yang lebih membutuhkan uang itu.
Darmono berdiri, dia berjalan keluar menuju teras gubuknya. Lembayun senja menghiasi langit, menentramkan hati siapa saja yang melihatnya. Darmono kemudian duduk di lincak bambu. Lincak bambu itu bukanlah lincak bambu yang dulu, karena lincak bambu yang dulu sudah keropos dan memang perlu diganti, tapi Darmono tetap menggantinya dengan lincak bambu yang dibuat sangat mirip. Di lincak bambu itu seorang sahabatnya meninggal. Sampai sekarang dia masih ingat kata-kata terakhir sahabatnya. ‘Lanjutkan perjuangan!’
Darmono menunggu teman-temannya datang dan berbincang-bincang mengenai masa lalu. Ya, di gubuk itu para veteran perang berkumpul. Sejak Darmono menempati gubuk itu dia memanggil teman-temannya yang juga diberi umur panjang sama seperti dirinya. Satu per satu datanglah rekan-rekannya ke gubuk itu. Darmono berdiri dan menyalami mereka yang datang.
“Aneh ya, To! Kok bisa kita hidup sampai sekarang, apa saat ini kita menghadapi karma?” tanya Darmono kepada Karto.
“Hus, Dar, kamu tidak boleh ngomong seperti itu. Gusti memberi kita umur panjang harusnya disyukuri kok malah dianggap sebagai karma,” jawab Karto.
“Iya, Dar. Harusnya kita mensyukuri hidup. Lagipula, Dar, bukannya juga sudah hidup enak. Kok seperti orang yang susah,” sahut Tomo.
“Kadang aku seperti merasa seperti kena karma. Aku harus melihat bangsa yang dulu di perjuangkan oleh teman-teman kita kini seolah kembali ke masa lalu. Apakah keadaan seperti ini to yang dulu kita harapkan?” tanya Darmono lagi.
“Kadang aku juga merasa seperti itu. Dulu bangsa kita dijajah jelas dan kasat mata oleh Belanda, Jepang. Tapi kini kelihatannya penjajahan itu tetap ada tapi seperti hantu, tidak nampak. Dulu Bung Karno, Bung Hatta, dr. Sutomo, dan cendikiawan lain berjuang karena melihat sesamanya, orang-orang bumiputera kelas rendah, yang dipaksa menjadi budak di negeri mereka sendiri. Mereka berjuang mengangkat harkat dan martabat bumiputera, kalau dipikir-pikir dulu bisa saja para cendikiawan itu berpikir, ‘biarlah saja apa urusan kita, yang penting hidup kita makmur.’ Tapi itu tak terjadi. Mereka ikhlas membela bangsa. Dan kini kulihat semangat itu sudah tak ada, banyak yang tek peduli lagi dengan sesama anak-anak ibu pertiwi.”
“Yah, itu benar, Mo. Kita pun sekarang tetap menjadi bangsa budak, hanya sekarang istilahnya ganti,” sahut Karto. “Dan saat ini harga diri kita diinjak-injak pun kita diam saja.”
“Yah, aku masih ingat dulu pernah ada kapal Amerika melewati perairan kita, dan dengan tegas Bung Karno mengusir dengan mengancam akan menghancurkan kapal itu bila tak keluar dari perairan kita. Akhirnya kapal Amerika itu pun pergi begitu saja. Aku dulu berpikir apakah kapal kita saat itu mampu? Haha.. ” tawa renyah keluar dari mantan pejuang itu.
“Tidak masalah mampu apa tidak yang penting kita kan menjaga wibawa. Lha wong, wilayah kita kok ada kapal perang masuk begitu saja. Kalaupun waktu itu kita perang lagi dan kalah tak masalah yang penting kan harga diri bangsa bisa kita pertahankan. Kita kan bukan bangsa pengecut.”
“Yah, itu dulu,” sahut Karto.
“Apakah sia-sia darah dan jasad teman-teman kita yang sudah menyatu dengan tanah ini?” tanya Darmono lagi.
“Tidak, Dar. Aku tak pernah berpikiran seperti itu lagi. Tapi dulu aku pernah berpikiran sama sepertimu. Apakah perjuanganku dan semua rekan sia-sia? Tapi setelah melihat tawa anak-anak sekolah dan gemuk-gemuknya mereka sekarang aku tak merasa perjuangan kita sia-sia. Bangsa ini masih memerlukan waktu untuk berkembang dan menyadari apa arti kemerdekaan sesungguhnya. Biarlah nantinya perjuangan kita dilupakan, karena bukankah kita memang masa lalu? Tapi setidaknya aku dapat melihat anak-anak itu tersenyum bahagia, aku sudah puas. Merekalah yang dulu kita perjuangkan.”
Kata-kata Tomo itu pun dibenarkan oleh mereka bertiga. Mungkin masa mereka memang sudah berakhir, tongkat estafet itu sudah diserahkan pada pelari selanjutnya. Kini mereka hanya bisa melihat bagaimana pelari-pelari setelah mereka berjuang. Apakah mereka akan teringgal atau menjadi yang terdepan, para pejuang itu hanya bisa memberi semangat dari belakang. Sadar tugasnya sudah selesai, hanya petuah yang bisa mereka berikan.
Gelap malam mulai datang, para pejuang itu kembali lagi ke gubuk-gubuk mereka. Apabila dulu mereka berharap bermimpi tentang kemerdekaan bila mereka tidur, kini mereka berharap bermimpi bangsa ini tetap berdaulat, jaya, dan menjadi bangsa yang mempunyai harga diri.
NB: fto ini saya lupa ambil dari mana bila saya tidak mencantumkan alamat link yang sudah pernah mengupload foto ini saya mohon maaf.
Seolah mandi di siang hari dan lau menemukan air pancuran di pinggir desa. Menyejukkan. Inspirasi tiada henti nih, kagum berat pada Ansgarius.
ini nih baru cerpenis/prosais profesional. salut, kawan.
makasih bro.....
cerpen yg membumi.
Aku suka karyamu kawan.
Tetap berkreasi dan sukses selalu.
reuni..sepahit apapun ceritanya masih meninggalkan kisah yang tak pernah terlupa
cerita yg mengharukan bro, pesannya juga bagus dan nyampe.walau, kita belum bisa seperti mereka. tpi yah... diapain lagi. hiii
siiiiip
nice story sob ...
keren banget dah ..
oke dah, keren-keren :)
thank you atas koment2nya..
terharu juga saya bacanya.
Trims kawan, cerita yang keren.
Selamat berkarya. salam
waaaahh selamat siang ajah ya....sukses selalu....
kasian para pejuang. bersusah payah membebaskan negeri ini dr penjajahan, skrg malah anak cucu mereka yg membuat bangsa ini dijajah. dijajah oleh ketotolan mereka sendiri. ironi.
Wuih, mantaf nih...
Cerpen'x nggak dikirim aja nih ke redaksi majalah..??
Bagus...
mengena untuk saya (dan juga untuk semua..)
hmm...koment teman2 sudah bagus semua, jadi kehabisan kata2...
Cerita yang sungguh sangat mengispirasi mas... andai para penerus bangsa ini bisa belajar dari Pak Darmono ya?... salam terkasih...
hmm ceritany menarik nich hehhe :) salam kenal sob
@mira: iya sungguh ironi
@zippy: wah belum bisa nembus mas.. susah masih pemula sih..hehehe..\
@cahyadi: bener banget mas.. semoga bangsa ini lebih bisa belajar dari masa lalu..
@juliawan: salam kenal juga..
cerpennya sabar ya...mungkin minggu depan baru ditampilkan di blog Graha.
award sastra radio 2009 juga buat anda, mas. diambil sendiri ya..he he
ada award untukmu ya. cek dihttp://just-fatamorgana.blogspot.com/2009/07/mengapa-saya-bikin-award.html
diambil ya.
cerita yang menarik ni tuk di simak...
succes ja sob.,.
mirip dg papaku. dia selalu gak mau jual rumah warisan dari nenek. padahal udah gak ditempatin lagi.
Para pejuang jaman dahulu memang banyak yang nyentrik, tapi lepas dari semua itu, mereka berjuang dengan penuh keikhlasan demi nusa bangsa.
mampir lagi kerumahmu sahabat membawa berita baru....
mantep artikelnya boss
wah artikel yang sangat bagus
ikut menyimak gan
pejuang juga pada ikut reunian..
Momen yang tidak akan terlupakan yaitu ketika kita berkumpul dengan teman lama