Ansgarius

Langit hari ini benar-benar tak bersahabat, gelap tertutup awan hitam bercampur dengan kilat yang menyambar-nyambar disertai suara menggelegar bak meriam perang. Air yang turun dengan deras dan hawa dingin yang menusuk melengkapi suasana suram ini. Aku tak dapat merubah keinginan langit, seandainya aku bisa, aku akan membuat sore ini secerah mungkin. Melukisnya dengan warna merah yang indah dan burung-burung yang terbang bergerombol pulang ke sarangnya. Bila aku mampu aku akan membuat sore ini menjadi sempurna, karena hari ini aku akan bertemu dengan seseorang yang berharga bagiku. Seorang wanita yang sudah lama tak kutemui.

Sepeda motorku melaju menyusuri jalanan yang basah oleh hujan, menerabas tiang-tiang langit yang seolah berusaha menghalangiku. Tapi aku tak peduli, biarpun langit tak mengijinkan aku akan tetap menemuinya.

Di tempat itu, tempat kenangan itu, aku akan menemuinya. Saat aku masuki tempat itu kulihat dia sudah ada di sana, duduk di tempat yang dulu sering kami gunakan untuk berbagi cerita. Cerita yang sebenarnya lebih sering keluar dari bibirnya yang tipis dan merah. Bibir yang menggoda setiap kaum adam untuk melumatnya.


Tempat ini masih sama seperti sepuluh tahun yang lalu, tak banyak berubah. Hanya mungkin cat yang sekarang berubah menjadi lebih terang dibanding dulu. Warung makan yang tak terlalu mewah tapi bersih, luas dan rapi yang berada tepat di samping SMA kami dulu. Apakah bibi warung ini masih ingat denganku? Mungkin ingat, mungkin tidak, tapi itu bukan hal yang penting bagiku. Bagiku yang penting sekarang adalah menemui wanitaku yang sudah lama kurindukan.

Aku tersenyum kepadanya saat aku duduk di depannya, dia membalas senyumanku. Senyum yang sama seperti dulu, tapi entah kenapa ada yang hilang dari senyum itu.

“Maaf, sudah lama?” kataku membuka pembicaraan.

“Baru, maaf aku memanggilmu secara mendadak.”

“Tak apa. Aku malah senang bisa bertemu denganmu lagi,” ucapan ini jujur dari hatiku, tanpa maksud berbasa-basi.

“Kau masih saja baik, Antra,” katanya sembari tersenyum, senyum yang hampa.

“Dan kau masih saja cantik, Kirana,” godaku.

Kirana memang masih terlihat cantik, rambut panjangnya yang indah masih terpelihara dengan baik, hanya dibalik wajah cantiknya sekarang tersimpan kesedihan.

“Aku mau minta tolong, Antra. Dan aku tidak tahu siapa lagi yang harus kumintai tolong selain kamu.”

“Minta tolong apa?” tanyaku heran.

“Maaf, aku tak bisa menceritakan padamu sekarang,” ucapnya sembari menundukan wajah.

“Sebenarnya ada apa denganmu, Kirana? Kata ibumu kau pergi dari rumah tanpa kabar sejak dua tahun yang lalu. Lalu kau tinggal dimana sekarang? Apakah kau sekarang sudah menikah?” Entah kenapa pertanyaan yang selama ini meraung-raung di otakku kini terlontar begitu saja dari mulutku tanpa bisa terkontrol.

Kulihat Kirana tersenyum, senyuman yang sama. “Tidak Antra aku belum menikah.”

“Lalu kenapa kau pergi dari rumahmu bagitu saja? Orang tuamu cemas, Kirana. Pulanglah.”

“Aku tak bisa, Antra. Aku tak mampu menghadapi orang tuaku. Aku ingin menanggung beban ini sendiri.”

“Beban? Beban apa, Kirana?” Segala pikiran buruk memenuhi otakku tapi aku tak mampu mengucapkannya. Kepalaku terasa pening dan bibirku beku. Dingin yang merasuk semakin menusuk sampai ke otakku.

“Tidak, Kirana. Kau tak boleh menanggung beban itu sendirian. Aku..aku bisa mendampingimu. Aku mencintaimu, sejak dulu aku mencintaimu. Pulanglah bersamaku.” Aku tak percaya aku bisa mengucapkan kata-kata keramat itu. Sejak dulu aku tak pernah bisa mengucapkan kata-kata itu, tapi kata-kata itu kini terlontar begitu saja dari mulutku.

Kirana tersenyum melihatku, kali ini senyum itu sama seperti senyumnya dulu. Senyum yang membuatnya menjadi seperti bidadari. “Maaf, Antra, aku tak bisa.”
Kami diam sebentar sebelum akhirnya dia melanjutkan kata-katanya lagi, “Aku menyukaimu, Antra, tapi aku tak pantas untukmu. Aku bukan Kirana yang dulu lagi. Aku sudah cela.”

“Tidak, Kirana. Kau tidak bercela sedikitpun bagiku. Bagiku kau masih Kirana yang dulu.”

“Kau baik, Antra. Dan pria sebaik kau pantas mendapat wanita yang lebih baik dariku.”
“Tapi aku tak mau wanita lain.”

“Terima kasih atas perhatianmu, Antra,” sahutnya, “aku tahu kau jujur mengatakan itu, tapi sekarang aku hanya mau kau menolongku. Dan berjanjilah kau tak akan menolak permintaanku padamu.”

“Tapi…”

“Antra.”

Aku diam, mataku memandang lekat mata Kirana yang indah. Mata itu akhirnya meluluhkan hatiku, “baiklah. Aku berjanji.” Akhirnya hanya kata itu yang terucap dari mulutku.

Lagi-lagi senyuman itu tersungging dari bibir Kirana. Senyuman bidadari yang membuatku jatuh cinta kepadanya. “Aku tahu kau selalu menepati janjimu.”

Percakapan kami tak berlangsung lama. Setelah itu kami berpisah, dia tak mau kuantar pulang. Dia memberikan kecupan salam perpisahan di pipiku dan berjalan menjauh. Dan aku hanya mampu memandangnya berjalan dalam rintikan hujan yang masih saja turun.

**************

Sudah dua bulan sejak saat itu, kupikir Kirana hanya memberi ujian padaku. apakah aku tetap menerima dan membantunya walaupun aku tahu kejadian yang telah menimpanya. Tapi untuk apa dia melakukan itu? Aku masih terbayang-bayang wajahnya dan kenangan lama kami waktu masih duduk di bangku SMA. Tiba-tiba bel pintu membuyarkan semua lamunanku, dengan langkah gontai aku berdiri dan berjalan ke arah pintu. Ketika aku membuka pintu tampak seorang wanita tua membawa seorang bayi dan tas bayi.

“Apakah tuan Antra Samudra tinggal di sini?” tanya wanita itu, dan otakku mulai berpikir, apakah aku mengenal wanita ini? Seingatku tidak.

“Ya, saya sendiri. Maaf anda siapa dan ada keperluan apa?”

“Saya disuruh mengantar bayi ini kepada anda,” kata wanita itu.

Tanpa berpikir apa-apa aku menerima bayi itu dan tasnya, sepertinya hatiku yang mengerakkanku menerima bayi ini. Entah kenapa.

“Dan ini suratnya,” kata wanita itu sembari menyerahkan surat itu kepadaku. Kubaca surat itu. Kepada Antra yang baik. Dari Kirana Candrasasi.

“Dimana wanita ini?” kataku.

“Dia berpesan supaya saya tak memberitahukan kepada tuan, dia bilang harap tuan mengerti.”

Kemudian aku memberi wanita itu tip yang cukup besar. Setelah dia pergi aku mulai masuk menidurkan bayi itu di tempat tidurku. Kupandang wajah tak berdosa bayi itu yang masih tertidur lelap. Dengan sedikit berdebar aku membuka surat yang dikirimkan Kirana untukku. Tulisannya tidak berubah sama sekali.

Antra yang baik, aku tahu kau akan heran kenapa ada seseorang mengirim bayi ini kepadamu. Bayi ini adalah anakku, anak hasil hubunganku dengan pria itu. Mungkin aku harus menceritakan kepadamu, aku mengenal seorang pria dua tahun lalu dan terbuai semua keindahan yang dia miliki, yang membuatku melakukan tindakan bodoh tanpa berpikir panjang. Mungkin, bila dulu kau dan aku tak berpisah aku tak akan seperti ini.

Antra yang baik, aku menagih janjimu dan aku tahu kau akan menepati janjimu, kau memang orang yang tak pernah ingkar janji, karena itulah aku tak khawatir memintamu merawat anakku. Antra yang baik rawatlah anakku seperti anakmu sendiri, aku tahu hal ini pasti akan merepotkanmu, tapi aku tahu kau sudah terbiasa dengan anak kecil. Apakah kau masih sering berkunjung ke panti asuhan? Tentulah kau masih. Aku tahu kau begitu menyukai anak kecil, aku masih ingat ketika kau mengajakku ke panti asuhan kau mengatakan bahwa anak-anak kecil itu seperti Adam dan Hawa yang masih murni dan tak mempunyai dosa. Mereka begitu polos dan menyenangkan, karena alasan itulah aku memintamu mengasuh anakku. Bukan keinginannku untuk membuangnya, aku sendiri tak tega harus berpisah dengannya, bagaimanapun juga dia adalah darah dagingku. Tapi aku harus pergi jauh, tak bisa kupingkiri hati ini sakit. Aku munafik bila aku mengatakan aku tak apa. Aku hanya ingin pergi jauh meninggalkan tempat ini, menghilangkan semua kesedihan dan aku tak bisa membawa anakku tercinta bersamaku.

Antra yang baik. Hanya kau yang bisa kupercaya untuk merawat anak ini. Aku yakin anak ini akan menjadi anak yang baik bila kau rawat. Semoga dia tidak menjadi pria dewasa yang suka mempermainkan hati wanita seperti ayahnya, tapi seperti kau yang selalu tahu perasaan wanita dan menghormati wanita.
Antra, bila anak ini sudah dewasa jangan mengatakan apapun tentang orang tua kandungnya, karanglah cerita tentang orangtuanya. Aku tak mau dia nantinya akan menanggung malu atas dosa yang telah diperbuat orang tuanya, yang tak ada sangkut pautnya dengan anak ini.

Sekali lagi maafkan aku Antra, aku tak bisa hidup bersamamu. Aku tak pantas untuk orang sebaik kau, aku kotor dan kau bersih. Antra yang baik, aku mohon dengan sangat rawatlah anak ini, anggaplah anakmu sendiri. Dan bila nanti kau menikah katakanlah pada istrimu bahwa anak ini adalah anak angkat, anak dari saudaramu yang meninggal atau tak mampu membiayai hidup anak ini.

Satu pesanku Antra yang baik, carilah pendamping hidup dan kau akan merasa lebih baik. Aku yakin wanita di luar menunngu pria sepertimu yang mempunyai kesetiaan dan rasa menyayangi yang mereka idam-idamkan. Menikahlah.

Dari lubuk hatiku yang terdalam aku berterima kasih padamu Antra. Aku tak tahu harus dengan apa aku membalas kebaikanmu. Semoga Tuhan Yang Maha Tahu memberimu pahala yang berlimpah di surga. Selamat tinggal Antra, jaga dirimu baik-baik.


Salam sayang,


Kirana Candrasasi

Kirana, aku selalu menepati janjiku. Aku akan merawat anakmu seperti anakku sendiri. Tapi aku tak bisa tak menceritakanmu pada anak ini, suatu saat akan kuceritakan betapa cantik ibunya, betapa baik, dan betapa tegarnya dia. Dan mungkin aku sulit menerima nasihatmu untuk menikah, aku akan mencurahkan seluruh hidupku untuk anak ini. Anak dari seseorang yang aku cintai, yang telah memenuhi setiap ruang di hatiku, yang membuat aku tak bisa mencintai wanita lain. Kirana bila itu keputusanmu, aku akan menghargainya. Dan kuharap kau tak berbuat bodoh yang kedua kalinya. Semoga kau hanya pergi untuk menenangkan dan menata kembali hatimu yang hancur. Dan saat kita bertemu kembali, kau akan bangga melihat betapa hebatnya putramu dan putramu pun akan bangga melihat betapa cantik dan baik ibunya. Kami akan selalu menunggumu, Kirana. Menunggu kau benar-benar pulih. Semoga kau tak berbuat hal bodoh.


Surakarta, 29 Mei 2009

Label: edit post
7 Responses
  1. hanya ingin mengantarkan award ...
    ambil disini

    http://bayuanddagumaju.blogspot.com/2009/07/tidaaaaakkkk-banjir-datang-uuuoooohhhhh.html


  2. buwel Says:

    ehhhhmmmmmmm......apa ya inti nya......mungkin ini kisah manusia antara antra dan kirana. awalnya antra pernah berteman dengan kirana waktu sma, terus kirana pergi kawin lari kah...? naaah teus .....maaf neh mas, kalo menurut buwel bagus temanya, buwel nggak bisa tuh buat cerita sepanjang itu. nggak bisa ngetik, males, cepet cape. cuman keknya lebih afdol tanya mbbak fannya ajah ya.


  3. Ansgarius Says:

    thanks award dari bayu the maniac..

    @buwel thanks sudah koment cerpen ini.. pada dasarnya hanya seorang cinta anak manusia yang akhirnya rela mengasuh anak seseorang yang dicintainya walaupun anak itu bukan dari darah dagingnya sendiri karena besarnya cinta Antra hehe..


  4. Anonim Says:

    Karakter kedua tokoh cukup kuat..
    Kirana punya pribadi yg langka..
    Ia punya prinsip dlm hidup..
    Sahabat blogger, kl sempat silahkan mampir ke blog saya..

    salam kenal,
    classically


  5. Tukang Komen Says:

    kalau dari kenyataan hidup yang sesungguhnya, hal ini sangat amat teramat langka ada orang yang sebaik itu, namun kadang kebaikan orang seperti itu justru dimanfaatkan, mengapa Kirana justru "lari" kalau ia menyesali perbuatannya, bukankah Antra dengan tulus mencintainya? kalaupun Kirana merasa tidak pantas untuk Antra, mengapa dia justru memberikan sebuah tanggung jawab yang besar kepada Antra? Apakah kepergiannya supaya ia bebas dari sebuah tanggung jawab yang seharusnya diemban oleh seorang "Ibu", entahlah.... namun ini sebuah cerpen, cerpen yang indah dan penuh inspirasi, salam kenal.


  6. NOOR'S Says:

    sungguh suatu pengorbanan yang begitu besar dan tulus dari seorang Antra " atas nama cinta "...tapi kalimat2 di paragraf pertama yang tertulis nan puitis itu yang membuat saya angkat jempol empat jari...