Aku merasa kacau hari ini, pikiranku mampet, ide-ide tak keluar dari otakku, aku memutuskan untuk pergi berjalan-jalan. Berjalan tanpa tahu arah yang kutuju, hanya mengikuti kemana kakiku akan melangkah. Aku keluar dari halaman rumahku menuju jalan raya yang sama sekali tak ramah, berjalan melewati pengemis yang meminta-minta belas kasihan orang lain dengan wajah memelas. Ah, itu hanya pura-pura, pikirku. Memang sekarang mengemis menjadi lahan pekerjaan yang menggiurkan, kita tidak perlu bersusah payah berusaha, hanya meminta belas kasihan orang dan bakat akting, dan kalau perlu luka palsu, bisa mendapat seratus ribu per harinya. Menggiurkan, bukan? Resikonya hanya bermandikan panas sang surya yang kian hari kian angkuh memperlihatkan kekuatannya. Para pengemis itu, bisa jadi di kampung halamannya adalah orang kaya dengan rumah mewah dari hasil mengemis di kota besar ini, membuat para tetangganya iri, dan ikut-ikutan seperti pendahulunya yang sudah sukses di kota. Mengemis, dan jadilah kampung halaman itu kampung pengemis. Bisa jadi.
Aku melewati pengemis itu tanpa memberikan sepeser uang pun padanya. Aku naik ke atas jembatan penyeberangan dimana banyak pengemis mencari penghasilan di situ, kuacuhkan mereka. Aku berhenti di jembatan penyeberangan, tak kugubris setiap pengemis yang memohon belas kasihan kepadaku. Dari jembatan penyeberangan ini aku melihat gedung-gedung yang menjulang tinggi seolah menantang langit, dimana orang berdasi berduyun-duyun masuk ke gedung itu, bekerja dengan otak. Berbeda dengan para pekerja lapangan yang bekerja dengan otot, sangat berbeda pula dengan pengemis yang mengandalkan tampang memelas mereka. Siapa yang lebih baik? Aku tidak bisa menentukan. Jalanan penuh dengan mobil mewah, dan sepeda motor, membuat kemacetan bukan lagi menjadi sesuatu yang spektakuler, tak perlu penanganan khusus, kemacetan hal yang lumrah dari kota yang mempunyai banyak penduduk. Di jalanan yang sudah tergilas roda berbagai macam kendaraan itu tampak pula petugas kebersihan sibuk menyapu, membersihkan jalan dari sampah yang dibuang seenaknya oleh para pengguna jalan. Mungkin, para petugas kebersihan itulah pekerja terbaik. Bekerja bukan hanya demi diri sendiri tapi juga demi orang lain, pekerjaan yang dianggap rendah tapi mulia.
Aku mengalihkan pandangan mataku ke arah seberang jalan, di sana kulihat para pemulung menambang. Menambang sesuatu yang berharga. Bukan emas, bukan berlian, hanya sampah yang bisa didaur ulang. Mereka seringkali dianggap seperti orang kusta jaman dulu. Diasingkan. Tidak diijinkan memasuki suatu wilayah, komplek yang bertuliskan “PEMULUNG DILARANG MASUK.” Orang-orang komplek takut barang mereka akan dicuri para pemulung. Bukan salah pemulung mencuri barang-barang di rumah mewah, toh hanya sandal atau tanaman mahal, yang sekiranya bisa masuk ke dalam karung. Orang-orang kaya bisa mengeluarkan banyak uang untuk hal yang tak perlu, membeli tanaman berjuta-juta, sedangkan bagi pemulung? Bersyukur mereka bisa makan hari ini, tanpa perlu berpikir anak mereka bisa sekolah atau tidak. Yang penting bisa cari uang untuk makan, itu sudah cukup.
Benarkah menjadi manusia itu enak? Lebih enak dari binatang? Bukankah binatang tak perlu membayar untuk makan, tak perlu membayar untuk minum, tak perlu membayar untuk buang air. Binatang tak perlu mengeluarkan sepeser uang pun untuk membeli sesuatu yang tidak bisa mengenyangkan mereka. Para binatang tak perlu menjatuhkan harga diri mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka, apalagi menikam teman bahkan saudara. Kalau Manusia? Jangan tanya.
Kakiku masih belum merasa lelah untuk berjalan, aku meneruskan perjalanku. Iring-iringan mobil polisi dengan sirene yang menderu-deru menggusur setiap pengguna jalan yang lain. Orang besar mau lewat, orang kecil minggat! Pedagang besar mau pakai lahan, pedagang kecil buang! Siapa sekarang yang berkuasa di negeri ini? Dulu penjajah, sekarang? Perbudakan, kerja rodi, romusha sekarang pun masih ada hanya berganti nama saja, sedikit diperhalus. Aku berhenti sebentar hanya untuk melihat siapa orang besar yang akan lewat. Bukan untuk mengagumi, hanya kalau beruntung bisa menikmati wajah yang puas dengan kekuasaan di balik mobil mewah, dan kawalan polisi bertampang kejam, seakan siap menghajar siapapun yang menghalangi jalan si wajah puas dan berkuasa. Mereka tak peduli walau si penghambat adalah sopir becak yang sedang membawa istrinya ke bidan untuk kelahiran anak pertamanya. Ironi memang.
Sudah puas aku melihat iring-iringan itu, sayang aku tak bisa melihat wajah sang kuasa. Dia tertutup rapat di balik kaca hitam, mungkin terlalu malu akan dirinya sendiri sehingga tidak mau memperlihatkan mukanya di jalanan. Sang surya mulai condong ke arah barat, sinarnya mulai tertutup gedung-gedung tinggi. Sang surya merasa sudah puas membakar kulit manusia hari ini, tapi sang surya masih berbaik hati. Dia meninggalkan kenang-kenangan berupa langit yang berwarna kemerahan, warna yang indah. Manusia masih diberi kesempatan menyaksikan warna yang indah sebelum kegelapan menggantikan terang.
Aku melanjutkan perjalananku, aku masih ingin meneruskan perjalananku. Mencari inspirasi, mencari sesuatu yang hilang dalam diriku. Dadaku sesak ketika kegelapan bersiap-siap menguasai negeri ini, aku perlu berhenti. Kali ini aku lelah. Aku melihat taman kota yang indah di depan sana, aku memutuskan berjalan menuju ke taman kota itu. Aku tak tahu ada taman kota seindah ini di kota yang penuh dengan gedung tinggi ini. Ah, kapan taman ini dibangun? Benarkah pemerintah membangun taman ini? Kalau taman di sekitar apartemen mewah wajar, tapi di sini? Tak ada bangunan yang menghalangi. Semua penuh dengan pepohonan yang tinggi dan alami, taman bunga, air mancur dengan air yang keluar dari panah cinta malaikat cupid. Ah, indah sekali taman ini, kenapa aku baru tahu sekarang?
Aku duduk di bangku taman kota itu. Melihat sekeliling, banyak anak-anak bermain di taman pasir berusaha membentuk kastil, calon insinyur muda, kataku dalam hati. Di sisi lain nampak seorang pria kurus namun menggunakan pakaian yang sangat indah dengan wajah yang merona terang, kemudian wanita berpakaian sederhana yang membuatnya tampak bersahaja sedang melihat anaknya bermain pasir. Ah, indah sekali taman ini. Entah kenapa aku mulai membayangkan kehidupan masa laluku, suasana tempat ini seakan mengajakku kembali ke masa lalu. Waktu itu aku hanyalah penulis miskin yang hanya hidup dari tulisan yang tak pernah best seller. Aku tidak pintar berdagang, aku tidak menguasai manajemen, aku tidak tahu banyak tentang mesin, aku hanya bisa berimajinasi, karena itulah alasanku menjadi penulis lepas, hanya bisa berimajinasi. Menuangkan semua imajinasiku ke dalam tulisan dan menjualnya.
Saat aku membayangkan masa lalu seorang tua dengan pakaian yang sangat sederhana menghampiriku, dia duduk di sebelahku.
“Boleh saya duduk di sini?” katanya meminta ijin untuk duduk di sebelahku, dan kujawab hanya dengan anggukan kepala.
Kupandangi orang tua itu sebentar, wajahnya cerah dan bercahaya. Benar-benar orang tua yang kharismatik, sulit untuk menemukan seseorang seperti dia. Kulihat orang itu menerawang jauh, dengan kedua tangannya menggenggam erat tongkat pemandunya yang masih berdiri tegak di depannya. Dia mengalihkan pandangannya ke arahku dan tersenyum.
“Bagaimana kabarmu hari ini, anak muda?” tanya orang tua itu kepadaku.
“Baik, cuma sedikit lelah,” kataku yang langsung mengalihkan pandanganku ke orang-orang di sekelilingku lagi .
“Ah, ya. Itu terlihat dari wajahmu, anak muda. Indah bukan tempat ini?”
“Ya, saya baru tahu ada tempat seperti ini di kota,” kataku yang masih tetap tak melihat orang itu, masih mengagumi keindahan taman kota yang seperti surga.
“Yah, hanya sedikit orang yang tahu tempat ini,” jawabnya singkat.
“Sudah berapa lama taman ini dibangun?” tanyaku yang kini melihat kembali wajah terang dan menyejukkan siapapun yang melihatnya itu.
“Sudah lama.”
“Aneh. Kenapa saya sama sekali tak pernah tahu tempat ini.”
“Memang aneh, tapi tak seaneh dengan hidup yang kamu jalani. Semua yang menyangkut tentang kehidupan dan segala aspek yang ada di dalamnya itu aneh, bila kamu memikirkan dengan otak. Semua itu tidak akan menjadi aneh bila kau memikirkannya dengan hati. Otak terbatas kapasitasnya, tapi hati tak terbatas.”
Orang tua itu berkata sesuatu yang membuatku bingung. Tapi aku tak menyanggahnya, aku masih merasa sungkan.
“Bagaimana perasaan hatimu sekarang, anak muda?” tanyanya lagi.
“Biasa. Tidak ada yang istimewa.”
“Benarkah demikian? Raut mukamu tak mengatakan hal itu. Kamu tidak hanya kelelahan anak muda, kamu sepertinya mempunyai masalah berat. Ceritakanlah pada orang tua ini.”
Aku diam sebentar. Memang aku mempunyai banyak masalah hari ini, tapi siapa orang tua ini? Apakah dia bisa kupercaya? Aku baru saja kenal dia, tapi entah kenapa rasanya aku ingin menceritakan semua pengalaman hidupku kepadanya.
“Ya, anda benar. Saat ini saya tidak hanya lelah fisik, tapi juga pikiran. Terlalu banyak masalah yang menumpuk di pikiran saya.”
“Masalah seperti apa?” tanyanya seperti menginterogasiku.
“Saya merasa melupakan sesuatu, entah apa itu saya tidak tahu. Hidup saya sekarang sudah bahagia, saya sekarang sudah bisa membeli apapun yang saya miliki. Saya tak pernah kurang apapun, tapi saya selalu merasa saya melupakan sesuatu.”
“Benarkah, kamu sudah sangat bahagia?”
“Saya sangat bahagia, tidak tahukah anda? Apakah kebahagiaan saya tidak dapat anda lihat dari wajah saya?”
“Maaf, saya kurang bisa melihat kebahagiaan dari wajah seseorang. Saya hanya bisa melihat kebahagiaan dari hati seseorang, karena wajah bisa menipu sedang hati tidak.”
“Anda gila, mana bisa anda melihat hati saya. Perasaan dalam hati seseorang itu tak dapat ditebak.”
Orang itu hanya tersenyum kecil yang kuanggap sebagai senyum sinis.
“Kalau begitu saya tanya pada anda, apakah anda bahagia?” tanyaku balik.
“Saya bisa saja mengklaim demikian, tapi saya ingin mendengar pendapatmu terhadap saya. Nilailah saya, apakah saya bahagia atau tidak.”
Saya melihat orang itu secara menyeluruh, dari pakaiannya yang sama sekali jauh dari mewah, rambutnya pendek dan disisir kebelakang, dan wajahnya dengan senyum yang bisa menawan banyak wanita.
“Seperti kata anda tadi, wajah bisa menipu. Senyum anda saya tidak yakin adalah senyum yang tulus dari seorang yang bahagia. Melihat pakaian anda saya rasa anda selalu dalam keadaan susah.”
“Anak muda, kamu benar bila saya terlihat susah, bila melihat dari apa yang saya kenakan. Tapi apakah kamu bisa tahu suasana hati saya sekarang?”
“Bagaimana saya bisa menilai hati anda? Dalamnya laut dapat diukur, dalamnya hati siapa tahu?” Orang tua ini aneh, tapi entah kenapa saya tidak bisa marah kepadanya.
“Benar katamu, anak muda, dalamnya hati siapa tahu. Bahkan kita sendiri pun tak tahu dalamnya hati kita sendiri. Kita selalu terlena dengan apa yang bisa menyenangkan jasmani kita, walaupun kesenangan itu bersifat semu. Kebahagiaan yang kita dapat membuat kita melupakan semuanya, orang-orang di sekitar kita, masa lalu kita, bahkan diri kia sendiri. Bukankah kamu juga demikian, anak muda?”
“Apa maksud anda. Anda pikir saya tak bahagia sepenuhnya?”
“Hanya kamu yang tahu.” Jawab orang tua itu singkat.
“Baiklah, saya akan bercerita siapa saya. Saya adalah orang yang sudah berkecukupan. Saya seorang penulis, saya bahagia menjadi penulis. Saya bisa mengatur kehidupan tokoh ciptaan saya sesuka hati. Saya bisa menjadi tuhan dengan mengatur kehidupan setiap tokoh, menggariskan takdir tokoh itu. Bila saya tidak suka seseorang, saya bisa membuat orang itu menjadi tokoh saya. Saya bisa membuat kehidupannya merana, mati dengan sangat sadis. Bila saya suka pada wanita, saya ciptakan tokoh yang mirip dengannya, saya bisa menjadi pemeran tokoh dalam tulisan saya sendiri, saya bisa mencumbu wanita itu habis-habisan. Bila saya tidak suka pada pemerintahan saya akan sindir habis-habisan dalam tulisan saya. Sekarang demokrasi, saya bisa bebas melukiskan apapun. Dan saya sangat bahagia apabila tulisan saya dijadikan film, saya bisa melihat tokoh ciptaan saya melalui layar kaca, seperti Tuhan melihat kehidupan yang diciptakannya. Saya benar-benar menjadi tuhan. Dulu saya penulis miskin, sekarang saya mempunyai segala-galanya. Tulisan saya laris manis di pasar, tulisan saya sekarang disukai banyak orang.” Aku diam sebentar melihatnya masih tersenyum, senyum yang benar-benar menghangatkan.
“Anak muda, memang kamu sekarang sukses, kamu bisa menggariskan takdir tokoh-tokohmu, tapi apakah kamu benar-benar bahagia? Bukankah tadi kamu mengatakan bahwa kamu merasa kehilangan sesuatu anak muda? Kamu kehilangan apa anak muda?”
Benar kata orang tua itu, aku merasa kehilangan sesuatu. Aku masih belum tahu kehilangan apa.
“Anak muda, apakah kamu sudah beristri? Kamu punya teman?”
Aku tahu sekarang. Aku kehilangan istriku, anak-anakku, dan teman-temanku.
“Saya tahu sekarang, saya kehilangan istri, anak, dan teman-teman saya,” kataku dengan menunduk, sama seperti anak kecil yang ketahuan bersalah oleh ayahnya.
“Kenapa kamu bisa kehilangan mereka?”
“Saya terlalu serakah, saya terlena seorang wanita muda yang ternyata hanya mengencani saya sebagai penulis terkenal. Bukan saya seutuhnya. Saya tega meninggalkan istri dan anak hanya karena wanita jalang. Kenapa saya bisa melupakan mereka?” Aku menangis sejadi-jadinya. Aku ingat masa laluku yang hilang. Mereka yang sebenarnya kucari selama ini, bukan ide atau apapun. “Dulu mereka yang menjadi pemompa semangat saya, hingga saya menjadi terkenal. Saya juga meninggalkan teman-teman saya. Saya terlalu sibuk mengurusi tokoh saya, terbuai dalam imajinasi hingga melupakan kehidupan nyata. Bahagia karena bisa menjadi tuhan dalam kehidupan semu. Dari mereka sebenarnya ide saya tercipta, tapi saya melupakan mereka semua.”
Suara alam mulai memenuhi gendang telingaku, suara yang indah, suara yang menenangkan hati.
“Anak muda, hidupmu bukan untuk dirimu sendiri. Tuhan Sang Pencipta alam dan segala isinya tidak menciptakan manusia untuk dirinya sendiri. Tuhan mengirimkan manusia ke bumi untuk orang lain,” kata-kata orang tua itu semakin dalam menusuk. Membuatku merasa bersalah. ”Kamu salah bila kau merasa bisa menjadi tuhan. Tuhan menciptakan manusia sesuai citranya. Tuhan memang menggariskan takdir setiap manusia, tapi Tuhan tidak menciptakan manusia yang tidak bisa berkehendak sendiri. Apakah manusia akan menjalani takdirnya atau melenceng jauh dari takdir, manusia yang menentukan sendiri. Itulah alasan mengapa manusia mempunyai pikiran dan hati. Tuhan tidak pernah menggariskan manusia mati bunuh diri atau overdosis, itu adalah keinginan manusia itu sendiri. Tuhan tak pernah menggariskan manusia berbuat jahat dengan mencuri, memperkosa, atau membunuh, itu adalah buah pikiran mereka sendiri. Kau tentu tak bisa membuat hal seperti itu dalam tulisanmu, bukan? Kau hanya bisa membuat mereka bertindak sesuai kehendakmu, tapi Tuhan membuat ciptaannya mandiri. Sama seperti orang tua yang akan melepas anaknya ketika dia sudah dewasa. Apakah anak itu akan durhaka atau berbakti pada orang tuanya, anak itu sendiri yang menentukan. Tokohmu tak akan bisa berkehendak sendiri dan menentangmu, bukan? Kenapa kau bisa terlena dengan tokoh imajinasimu itu, hingga melupakan kehidupan nyatamu?”
Aku diam, menangis. Semua masa lalu berputar dalam ingatanku.
“Anda benar, anda membuka mata saya yang telah lama buta. Selama ini saya hanya manusia bodoh yang bergelut dengan imajinasi dan melupakan dunia nyata. Melupakan diri saya sendiri, melupakan orang terdekat saya. Oh, Tuhan, maafkan hambamu ini.”
Aku masih menangis, mengingat semua kebodohanku itu.
“Sudahlah anakku,” katanya, kemudian dia pergi meninggalkanku begitu saja.
Aku masih tak beranjak dari taman itu, aku masih menangis ketika seorang anak kecil datang menghampiriku.
“Paman kenapa menangis?” tanya anak kecil itu dengan polosnya.
“Tidak apa-apa, dik. Lho kok sendirian mana ibumu?”
“Semua orang di taman ini saudaraku, paman juga saudaraku. Semua ibuku, semua ayahku, semua kakakku, semua adikku,” kata-katanya membuatku bingung. “Paman tidak boleh menangis, di tempat ini semua orang bahagia. Tidak ada yang sedih.”
“Ah, kamu benar. Paman tidak boleh menangis, paman akan memulai sesuatu yang baru. Kenapa adik malam-malam masih di sini? Nanti diculik, lho?” Anak kecil ini mengingatkanku pada anakku, yang hanya kuberi harta bukan cinta.
“Hihi..paman lucu, di taman ini tak ada siang, tak ada malam. Semua tergantung suasana hati paman. Paman bersedih taman ini akan menjadi gelap, paman senang taman ini akan terang benderang. Paman juga tak perlu takut. Tidak ada penjahat di taman ini, semua orang baik,” kata-kata anak ini semakin membuatku bingung, dan kulihat sekelilingku cahaya sudah memenuhi taman ini. Aneh, bukankah tadi masih malam, waktu aku berbicara dengan orang tua itu? Kenapa sekarang sudah siang kembali? Apakah aku berbicara terlalu lama?
“Aduh, dik, kelihatannya paman terlalu lama di sini. Paman harus pulang dulu.”
“Paman mau pulang? Pulang kemana? Di sini tempat paman yang baru.”
“Apa maksud adik?” Ini semua membuatku bingung, lalu selembar koran jatuh di bawah kakiku. Aku ambil koran itu, berita di koran itu mengatakan seorang penulis terkenal terkena serangan jantung. Warga segera membawanya ke rumah sakit. Penulis itu bernama Antra Samudra. Itu aku, aku masih sehat di sini kenapa dikabarkan terkena serangan jantung. Kubaca tanggal koran itu, 03 januari 2009, itu satu hari setelah aku pergi keluar rumah, dan pergi ke taman ini. Sebenarnya dimana aku sekarang? Aku merasa kepalaku berat, pusing, dan akhirnya tak sadarkan diri. Perlahan-lahan kesadaranku pulih, tapi semua putih. Mataku hanya bisa menangkap warna putih. Samar-samar aku mendengar tangisan, dan aku kenal suara-suara itu. Suara itu tak asing lagi bagiku, tapi kenapa aku tak bisa menggerakkan tubuhku, kenapa ini? Dan kenapa sekarang semuanya serba putih? Sebenarnya dimana aku sekarang?
Surakarta, 5 Januari 2009
Selengkapnya...