Ansgarius

Photobucket


Darmono duduk di kursi rotannya. Dia kini hanya tinggal menunggu sang malaikat maut datang menjemputnya. sudah cukup lama dia tinggal di dunia ini. Dan dia sudah terlalu bosan. Istrinya sudah lama mendahuluinya apalagi teman-teman seperjuangannya, anaknya pun kini sudah menjadi Jendral besar di Angkatan Darat. Anaknya selalu mengajaknya untuk ikut tinggal bersamanya tapi Darmono menolak. Dia ingin tinggal di gubuk ini dan nantinya mati di gubuk ini pula. Gubuk ini penuh dengan kenangan, mulai dari menjadi markas gerilyawan, hidupnya yang penuh cinta bersama istrinya, hingga kelahiran anak satu-satunya. Dia tak mau meninggalkan atau merombak gubuk ini.


Gubuknya pun sama sekali tak teraliri aliran listrik. Dia tetap ingin mempertahankan gubuk ini seperti apa adanya, memang gubuk ini pernah ia tinggalkan sewaktu dia sudah mendapat kehidupan yang lebih layak. Tapi dia tak mau mengusik gubuk ini sedikit pun. Istri dan anaknya yang ingin menjual atau membuatnya lebih baik dia bentak-bentak.

“Tak tahukah kalian gubuk itu adalah sejarah! Gubuk itu adalah markas gerilyawan yang menjadi tumbal kemerdekaan, di gubuk itu semua kenangan tersimpan! Aku menikah denganmu dan merajut rumah tangga di gubuk itu. Kamu, Ri! Kamu lahir di sana. Tak pernah sedikit pun aku mau merombak apalagi menjual gubuk kenangan itu. Lebih baik menjual rumah ini dari pada gubuk itu. Suatu saat aku ingin menempati gubuk itu lagi dan mati di sana. Sama seperti rekan seperjuanganku yang dulu gugur dengan kebanggaan di gubuk itu.”

Dan bila Darmono sudah mengamuk seperti itu tak ada yang berani menentangnya. Sifatnya yang keras itu masih tersimpan dalam tubuhnya yang kini telah renta. Semenjak saat itu tak ada lagi yang berani membicarakan gubuk itu. Gubuk itu diserahkan kepada seseorang untuk merawatnya, tanpa boleh ada yang berubah. Bila ada yang berubah maka penjaga itu akan merasakan kemarahan sang veteran perang kemerdekaan.

Orang pasti akan mencibir bila melihat gubuk itu. Tapi para tetangga yang tahu benar siapa pemilik gubuk itu tak berani mencibir, bahkan para tetangga itu hormat dengan Darmono. Di usianya yang sudah sangat lanjut Darmono masih ikut meronda walaupun hanya sebentar. Orang-orang di sekitarnya sangat suka cerita tentang perjuangan yang terjadi di wilayah mereka itu. Darmono pun tak bersifat sombong, walaupun anaknya Jendral dia tak pernah menggunakan nama anaknya untuk membuatnya dihormati. Apalah artinya kehormatan? Dia pun menolak piagam yang diberikan atasnya oleh pemerintah. Dia melakukan perjuangan bukan untuk piagam atau uang tunjangan. Dia masih mampu membiayai hidupnya sendiri, dia berjuang untuk harga diri bangsa yang sudah lama diinjak-injak. Sama seperti rekan seperjuangannya yang mati dan tergeletak begitu saja tapi bangga dan bahagia, karena mereka mati dalam pangkuan Ibu Pertiwi. Dia akan merekomendasikan teman seperjuangannya yang lebih membutuhkan uang itu.
Darmono berdiri, dia berjalan keluar menuju teras gubuknya. Lembayun senja menghiasi langit, menentramkan hati siapa saja yang melihatnya. Darmono kemudian duduk di lincak bambu. Lincak bambu itu bukanlah lincak bambu yang dulu, karena lincak bambu yang dulu sudah keropos dan memang perlu diganti, tapi Darmono tetap menggantinya dengan lincak bambu yang dibuat sangat mirip. Di lincak bambu itu seorang sahabatnya meninggal. Sampai sekarang dia masih ingat kata-kata terakhir sahabatnya. ‘Lanjutkan perjuangan!’

Darmono menunggu teman-temannya datang dan berbincang-bincang mengenai masa lalu. Ya, di gubuk itu para veteran perang berkumpul. Sejak Darmono menempati gubuk itu dia memanggil teman-temannya yang juga diberi umur panjang sama seperti dirinya. Satu per satu datanglah rekan-rekannya ke gubuk itu. Darmono berdiri dan menyalami mereka yang datang.

“Aneh ya, To! Kok bisa kita hidup sampai sekarang, apa saat ini kita menghadapi karma?” tanya Darmono kepada Karto.

“Hus, Dar, kamu tidak boleh ngomong seperti itu. Gusti memberi kita umur panjang harusnya disyukuri kok malah dianggap sebagai karma,” jawab Karto.

“Iya, Dar. Harusnya kita mensyukuri hidup. Lagipula, Dar, bukannya juga sudah hidup enak. Kok seperti orang yang susah,” sahut Tomo.

“Kadang aku seperti merasa seperti kena karma. Aku harus melihat bangsa yang dulu di perjuangkan oleh teman-teman kita kini seolah kembali ke masa lalu. Apakah keadaan seperti ini to yang dulu kita harapkan?” tanya Darmono lagi.

“Kadang aku juga merasa seperti itu. Dulu bangsa kita dijajah jelas dan kasat mata oleh Belanda, Jepang. Tapi kini kelihatannya penjajahan itu tetap ada tapi seperti hantu, tidak nampak. Dulu Bung Karno, Bung Hatta, dr. Sutomo, dan cendikiawan lain berjuang karena melihat sesamanya, orang-orang bumiputera kelas rendah, yang dipaksa menjadi budak di negeri mereka sendiri. Mereka berjuang mengangkat harkat dan martabat bumiputera, kalau dipikir-pikir dulu bisa saja para cendikiawan itu berpikir, ‘biarlah saja apa urusan kita, yang penting hidup kita makmur.’ Tapi itu tak terjadi. Mereka ikhlas membela bangsa. Dan kini kulihat semangat itu sudah tak ada, banyak yang tek peduli lagi dengan sesama anak-anak ibu pertiwi.”

“Yah, itu benar, Mo. Kita pun sekarang tetap menjadi bangsa budak, hanya sekarang istilahnya ganti,” sahut Karto. “Dan saat ini harga diri kita diinjak-injak pun kita diam saja.”

“Yah, aku masih ingat dulu pernah ada kapal Amerika melewati perairan kita, dan dengan tegas Bung Karno mengusir dengan mengancam akan menghancurkan kapal itu bila tak keluar dari perairan kita. Akhirnya kapal Amerika itu pun pergi begitu saja. Aku dulu berpikir apakah kapal kita saat itu mampu? Haha.. ” tawa renyah keluar dari mantan pejuang itu.

“Tidak masalah mampu apa tidak yang penting kita kan menjaga wibawa. Lha wong, wilayah kita kok ada kapal perang masuk begitu saja. Kalaupun waktu itu kita perang lagi dan kalah tak masalah yang penting kan harga diri bangsa bisa kita pertahankan. Kita kan bukan bangsa pengecut.”

“Yah, itu dulu,” sahut Karto.

“Apakah sia-sia darah dan jasad teman-teman kita yang sudah menyatu dengan tanah ini?” tanya Darmono lagi.

“Tidak, Dar. Aku tak pernah berpikiran seperti itu lagi. Tapi dulu aku pernah berpikiran sama sepertimu. Apakah perjuanganku dan semua rekan sia-sia? Tapi setelah melihat tawa anak-anak sekolah dan gemuk-gemuknya mereka sekarang aku tak merasa perjuangan kita sia-sia. Bangsa ini masih memerlukan waktu untuk berkembang dan menyadari apa arti kemerdekaan sesungguhnya. Biarlah nantinya perjuangan kita dilupakan, karena bukankah kita memang masa lalu? Tapi setidaknya aku dapat melihat anak-anak itu tersenyum bahagia, aku sudah puas. Merekalah yang dulu kita perjuangkan.”

Kata-kata Tomo itu pun dibenarkan oleh mereka bertiga. Mungkin masa mereka memang sudah berakhir, tongkat estafet itu sudah diserahkan pada pelari selanjutnya. Kini mereka hanya bisa melihat bagaimana pelari-pelari setelah mereka berjuang. Apakah mereka akan teringgal atau menjadi yang terdepan, para pejuang itu hanya bisa memberi semangat dari belakang. Sadar tugasnya sudah selesai, hanya petuah yang bisa mereka berikan.

Gelap malam mulai datang, para pejuang itu kembali lagi ke gubuk-gubuk mereka. Apabila dulu mereka berharap bermimpi tentang kemerdekaan bila mereka tidur, kini mereka berharap bermimpi bangsa ini tetap berdaulat, jaya, dan menjadi bangsa yang mempunyai harga diri.

NB: fto ini saya lupa ambil dari mana bila saya tidak mencantumkan alamat link yang sudah pernah mengupload foto ini saya mohon maaf.

Selengkapnya...

Ansgarius

Wah senengnya ada yang kasih award ke blog saya yang masih baru ini.. Award ini saya dapat dari Bayu The Maniac. Thanks banget pokoknya deh.. Saya jadi semangat nge-Blog…

therachmat.blogspot.com
therachmat.blogspot.com



Script gambar award bisa diambil disini ...
Award ini gue kasih kepada :
1. http://ini-bisnis-koe.blogspot.com
2. http://buitenzblog.blogspot.com
3. http://coretange.blogspot.com
4. http://curahan-pena.blogspot.com
5. http://cerpenochan.blogspot.com
6. http://just-fatamorgana.blogspot.com

Karena sama seperti sang pembuat award yang membuat repot saya maka saya juga pengen buat yang nerima award ini repot, saya kasih PR ...
Nih dia PR nya ..
1. Posting award ini di blog kamu dan buat link dari siapa kamu menerima award ini.
2. Berikan award ini kepada teman-teman kamu. Kasih ke manusia aja. Jangan ke hewan atau tumbuhan. Catet tuh.
3. Jangan lupa koment ke sini sob dan bilang kalo saya itu orangnya baik banget mau bagi-bagi award. Hehe…
Selengkapnya...

Ansgarius

Langit hari ini benar-benar tak bersahabat, gelap tertutup awan hitam bercampur dengan kilat yang menyambar-nyambar disertai suara menggelegar bak meriam perang. Air yang turun dengan deras dan hawa dingin yang menusuk melengkapi suasana suram ini. Aku tak dapat merubah keinginan langit, seandainya aku bisa, aku akan membuat sore ini secerah mungkin. Melukisnya dengan warna merah yang indah dan burung-burung yang terbang bergerombol pulang ke sarangnya. Bila aku mampu aku akan membuat sore ini menjadi sempurna, karena hari ini aku akan bertemu dengan seseorang yang berharga bagiku. Seorang wanita yang sudah lama tak kutemui.

Sepeda motorku melaju menyusuri jalanan yang basah oleh hujan, menerabas tiang-tiang langit yang seolah berusaha menghalangiku. Tapi aku tak peduli, biarpun langit tak mengijinkan aku akan tetap menemuinya.

Di tempat itu, tempat kenangan itu, aku akan menemuinya. Saat aku masuki tempat itu kulihat dia sudah ada di sana, duduk di tempat yang dulu sering kami gunakan untuk berbagi cerita. Cerita yang sebenarnya lebih sering keluar dari bibirnya yang tipis dan merah. Bibir yang menggoda setiap kaum adam untuk melumatnya.


Tempat ini masih sama seperti sepuluh tahun yang lalu, tak banyak berubah. Hanya mungkin cat yang sekarang berubah menjadi lebih terang dibanding dulu. Warung makan yang tak terlalu mewah tapi bersih, luas dan rapi yang berada tepat di samping SMA kami dulu. Apakah bibi warung ini masih ingat denganku? Mungkin ingat, mungkin tidak, tapi itu bukan hal yang penting bagiku. Bagiku yang penting sekarang adalah menemui wanitaku yang sudah lama kurindukan.

Aku tersenyum kepadanya saat aku duduk di depannya, dia membalas senyumanku. Senyum yang sama seperti dulu, tapi entah kenapa ada yang hilang dari senyum itu.

“Maaf, sudah lama?” kataku membuka pembicaraan.

“Baru, maaf aku memanggilmu secara mendadak.”

“Tak apa. Aku malah senang bisa bertemu denganmu lagi,” ucapan ini jujur dari hatiku, tanpa maksud berbasa-basi.

“Kau masih saja baik, Antra,” katanya sembari tersenyum, senyum yang hampa.

“Dan kau masih saja cantik, Kirana,” godaku.

Kirana memang masih terlihat cantik, rambut panjangnya yang indah masih terpelihara dengan baik, hanya dibalik wajah cantiknya sekarang tersimpan kesedihan.

“Aku mau minta tolong, Antra. Dan aku tidak tahu siapa lagi yang harus kumintai tolong selain kamu.”

“Minta tolong apa?” tanyaku heran.

“Maaf, aku tak bisa menceritakan padamu sekarang,” ucapnya sembari menundukan wajah.

“Sebenarnya ada apa denganmu, Kirana? Kata ibumu kau pergi dari rumah tanpa kabar sejak dua tahun yang lalu. Lalu kau tinggal dimana sekarang? Apakah kau sekarang sudah menikah?” Entah kenapa pertanyaan yang selama ini meraung-raung di otakku kini terlontar begitu saja dari mulutku tanpa bisa terkontrol.

Kulihat Kirana tersenyum, senyuman yang sama. “Tidak Antra aku belum menikah.”

“Lalu kenapa kau pergi dari rumahmu bagitu saja? Orang tuamu cemas, Kirana. Pulanglah.”

“Aku tak bisa, Antra. Aku tak mampu menghadapi orang tuaku. Aku ingin menanggung beban ini sendiri.”

“Beban? Beban apa, Kirana?” Segala pikiran buruk memenuhi otakku tapi aku tak mampu mengucapkannya. Kepalaku terasa pening dan bibirku beku. Dingin yang merasuk semakin menusuk sampai ke otakku.

“Tidak, Kirana. Kau tak boleh menanggung beban itu sendirian. Aku..aku bisa mendampingimu. Aku mencintaimu, sejak dulu aku mencintaimu. Pulanglah bersamaku.” Aku tak percaya aku bisa mengucapkan kata-kata keramat itu. Sejak dulu aku tak pernah bisa mengucapkan kata-kata itu, tapi kata-kata itu kini terlontar begitu saja dari mulutku.

Kirana tersenyum melihatku, kali ini senyum itu sama seperti senyumnya dulu. Senyum yang membuatnya menjadi seperti bidadari. “Maaf, Antra, aku tak bisa.”
Kami diam sebentar sebelum akhirnya dia melanjutkan kata-katanya lagi, “Aku menyukaimu, Antra, tapi aku tak pantas untukmu. Aku bukan Kirana yang dulu lagi. Aku sudah cela.”

“Tidak, Kirana. Kau tidak bercela sedikitpun bagiku. Bagiku kau masih Kirana yang dulu.”

“Kau baik, Antra. Dan pria sebaik kau pantas mendapat wanita yang lebih baik dariku.”
“Tapi aku tak mau wanita lain.”

“Terima kasih atas perhatianmu, Antra,” sahutnya, “aku tahu kau jujur mengatakan itu, tapi sekarang aku hanya mau kau menolongku. Dan berjanjilah kau tak akan menolak permintaanku padamu.”

“Tapi…”

“Antra.”

Aku diam, mataku memandang lekat mata Kirana yang indah. Mata itu akhirnya meluluhkan hatiku, “baiklah. Aku berjanji.” Akhirnya hanya kata itu yang terucap dari mulutku.

Lagi-lagi senyuman itu tersungging dari bibir Kirana. Senyuman bidadari yang membuatku jatuh cinta kepadanya. “Aku tahu kau selalu menepati janjimu.”

Percakapan kami tak berlangsung lama. Setelah itu kami berpisah, dia tak mau kuantar pulang. Dia memberikan kecupan salam perpisahan di pipiku dan berjalan menjauh. Dan aku hanya mampu memandangnya berjalan dalam rintikan hujan yang masih saja turun.

**************

Sudah dua bulan sejak saat itu, kupikir Kirana hanya memberi ujian padaku. apakah aku tetap menerima dan membantunya walaupun aku tahu kejadian yang telah menimpanya. Tapi untuk apa dia melakukan itu? Aku masih terbayang-bayang wajahnya dan kenangan lama kami waktu masih duduk di bangku SMA. Tiba-tiba bel pintu membuyarkan semua lamunanku, dengan langkah gontai aku berdiri dan berjalan ke arah pintu. Ketika aku membuka pintu tampak seorang wanita tua membawa seorang bayi dan tas bayi.

“Apakah tuan Antra Samudra tinggal di sini?” tanya wanita itu, dan otakku mulai berpikir, apakah aku mengenal wanita ini? Seingatku tidak.

“Ya, saya sendiri. Maaf anda siapa dan ada keperluan apa?”

“Saya disuruh mengantar bayi ini kepada anda,” kata wanita itu.

Tanpa berpikir apa-apa aku menerima bayi itu dan tasnya, sepertinya hatiku yang mengerakkanku menerima bayi ini. Entah kenapa.

“Dan ini suratnya,” kata wanita itu sembari menyerahkan surat itu kepadaku. Kubaca surat itu. Kepada Antra yang baik. Dari Kirana Candrasasi.

“Dimana wanita ini?” kataku.

“Dia berpesan supaya saya tak memberitahukan kepada tuan, dia bilang harap tuan mengerti.”

Kemudian aku memberi wanita itu tip yang cukup besar. Setelah dia pergi aku mulai masuk menidurkan bayi itu di tempat tidurku. Kupandang wajah tak berdosa bayi itu yang masih tertidur lelap. Dengan sedikit berdebar aku membuka surat yang dikirimkan Kirana untukku. Tulisannya tidak berubah sama sekali.

Antra yang baik, aku tahu kau akan heran kenapa ada seseorang mengirim bayi ini kepadamu. Bayi ini adalah anakku, anak hasil hubunganku dengan pria itu. Mungkin aku harus menceritakan kepadamu, aku mengenal seorang pria dua tahun lalu dan terbuai semua keindahan yang dia miliki, yang membuatku melakukan tindakan bodoh tanpa berpikir panjang. Mungkin, bila dulu kau dan aku tak berpisah aku tak akan seperti ini.

Antra yang baik, aku menagih janjimu dan aku tahu kau akan menepati janjimu, kau memang orang yang tak pernah ingkar janji, karena itulah aku tak khawatir memintamu merawat anakku. Antra yang baik rawatlah anakku seperti anakmu sendiri, aku tahu hal ini pasti akan merepotkanmu, tapi aku tahu kau sudah terbiasa dengan anak kecil. Apakah kau masih sering berkunjung ke panti asuhan? Tentulah kau masih. Aku tahu kau begitu menyukai anak kecil, aku masih ingat ketika kau mengajakku ke panti asuhan kau mengatakan bahwa anak-anak kecil itu seperti Adam dan Hawa yang masih murni dan tak mempunyai dosa. Mereka begitu polos dan menyenangkan, karena alasan itulah aku memintamu mengasuh anakku. Bukan keinginannku untuk membuangnya, aku sendiri tak tega harus berpisah dengannya, bagaimanapun juga dia adalah darah dagingku. Tapi aku harus pergi jauh, tak bisa kupingkiri hati ini sakit. Aku munafik bila aku mengatakan aku tak apa. Aku hanya ingin pergi jauh meninggalkan tempat ini, menghilangkan semua kesedihan dan aku tak bisa membawa anakku tercinta bersamaku.

Antra yang baik. Hanya kau yang bisa kupercaya untuk merawat anak ini. Aku yakin anak ini akan menjadi anak yang baik bila kau rawat. Semoga dia tidak menjadi pria dewasa yang suka mempermainkan hati wanita seperti ayahnya, tapi seperti kau yang selalu tahu perasaan wanita dan menghormati wanita.
Antra, bila anak ini sudah dewasa jangan mengatakan apapun tentang orang tua kandungnya, karanglah cerita tentang orangtuanya. Aku tak mau dia nantinya akan menanggung malu atas dosa yang telah diperbuat orang tuanya, yang tak ada sangkut pautnya dengan anak ini.

Sekali lagi maafkan aku Antra, aku tak bisa hidup bersamamu. Aku tak pantas untuk orang sebaik kau, aku kotor dan kau bersih. Antra yang baik, aku mohon dengan sangat rawatlah anak ini, anggaplah anakmu sendiri. Dan bila nanti kau menikah katakanlah pada istrimu bahwa anak ini adalah anak angkat, anak dari saudaramu yang meninggal atau tak mampu membiayai hidup anak ini.

Satu pesanku Antra yang baik, carilah pendamping hidup dan kau akan merasa lebih baik. Aku yakin wanita di luar menunngu pria sepertimu yang mempunyai kesetiaan dan rasa menyayangi yang mereka idam-idamkan. Menikahlah.

Dari lubuk hatiku yang terdalam aku berterima kasih padamu Antra. Aku tak tahu harus dengan apa aku membalas kebaikanmu. Semoga Tuhan Yang Maha Tahu memberimu pahala yang berlimpah di surga. Selamat tinggal Antra, jaga dirimu baik-baik.


Salam sayang,


Kirana Candrasasi

Kirana, aku selalu menepati janjiku. Aku akan merawat anakmu seperti anakku sendiri. Tapi aku tak bisa tak menceritakanmu pada anak ini, suatu saat akan kuceritakan betapa cantik ibunya, betapa baik, dan betapa tegarnya dia. Dan mungkin aku sulit menerima nasihatmu untuk menikah, aku akan mencurahkan seluruh hidupku untuk anak ini. Anak dari seseorang yang aku cintai, yang telah memenuhi setiap ruang di hatiku, yang membuat aku tak bisa mencintai wanita lain. Kirana bila itu keputusanmu, aku akan menghargainya. Dan kuharap kau tak berbuat bodoh yang kedua kalinya. Semoga kau hanya pergi untuk menenangkan dan menata kembali hatimu yang hancur. Dan saat kita bertemu kembali, kau akan bangga melihat betapa hebatnya putramu dan putramu pun akan bangga melihat betapa cantik dan baik ibunya. Kami akan selalu menunggumu, Kirana. Menunggu kau benar-benar pulih. Semoga kau tak berbuat hal bodoh.


Surakarta, 29 Mei 2009

Selengkapnya...

Ansgarius

Kira, dimana kau sekarang? Aku sudah lelah mencarimu. Kira dimana kau? Apakah begitu marah kau padaku, hingga kau tak mau lagi bertemu denganku ? Kira aku rindu kepadamu, setiap detik wajahmu selalu datang menghantui pikiranku, oh Kira dimana kau? Kira.. Kira…

Akhirnya kini aku benar-benar lepas darimu Antra, walaupun otakku masih saja mengingat wajahmu yang bagaikan malaikat, tapi hatiku selalu mengingatkan kelakuanmu yang bagai iblis…

Kira aku sudah mencarimu dimana-mana, sudah kukorbankan segala milikku hanya untuk mencarimu Kira, maukah kau kembali ke sisiku lagi? Aku selalu ingin bersamamu Kira, hanya kaulah wanita yang sempurna di mataku, tak ada wanita lain yang bisa menggantikanmu Kira, tak ada! Tidak seorang pun! Oh Kira kembalilah kepadaku….


Antra selama ini aku sudah cukup bersabar dengan perlakuanmu, aku selalu berharap kau bisa mengubah kelakuanmu, tapi harapan itu hanya menjadi harapan kosong semata. Antra maaf aku tak bisa kembali lagi ke sisimu…

Oh Kira apa salahku sehingga kau meninggalkanku? Apakah yang telah kuperbuat sehingga kau pergi jauh dari sisiku? Berapa jauh lagi sampai aku bisa menemukanmu? Setiap jalan yang kulalui aku meneriakkan namamu, setiap orang yang kutemui kuperlihatkan fotomu. Tapi apa hasilnya? Nol besar! Kau masih tak kutemukan Kira. Kira kenapa kau menyiksaku seperti ini? Apakah masih kurang perhatianku kepadamu? Apakah kurang rasa cintaku? Oh Kira.. Apa kau pernah melihatku berselingkuh dengan wanita lain? Apakah kau meragukan cintaku? Kira jangan sekali-kali meragukan kesetiaanku padamu. Tak ada satupun wanita di dunia ini yang seperti dirimu Kira. Kau wanita cantik dan penyabar, sosok wanita yang selalu kuimpikan, sosok wanita yang mirip dengan almarhumah ibuku. Oh Kira…

Antra dulu aku mencintaimu hingga kini pun aku masih mencintaimu, tapi aku harus pergi dari sisimu. Aku cinta padamu tapi aku takut pada sifat iblismu. Maafkan aku, Antra…

Kira berapa lama lagi aku harus menunggumu? Aku sudah rindu padamu, wanita yang ada di sini tak ada yang sebanding denganmu, kaulah yang terbaik, Kira….

Antra kau tahu aku tak bisa lagi di sisimu, aku tahu kau begitu setia padaku, tak pernah kuragukan kesetiaanmu padaku, Antra. Tapi aku benar-benar tak sanggup hidup bersamamu walaupun aku mencintaimu. Antra kuharap kau tak mencariku…

Kira malam datang. Kau tahu aku selalu benci malam, aku selalu benci kegelapan. Seterang apapun bintang dan bulan, seterang apapun lampu jalan yang menerangi malam, bagiku malam selalu gelap dan menakutkan, Kira. Kira aku menggigil ketakutan, kemarilah Kira, dekap aku. Aku takut Kira.

Antra, malam datang, aku tak tahu bagaimana keadaanmu di sana. Aku tahu kau takut dengan malam, tapi aku berbeda denganmu Antra, aku selalu menyukai malam. Bulan dan bintang yang bertebaran di langit seakan menjadi suatu petunjuk akan sesuatu harapan, bahwa segelap apapun langit masih ada cahaya yang menerangi, bahkan menjadi petunjuk arah. Begitu juga bagi manusia, segelap apapun keadaan manusia pasti ada seseorang yang akan menerangi dan kadang memberikan jalan keluar segala masalah yang menjadikan manusia gelap. Kau adalah gelap itu, Antra. Kau adalah malam, walaupun kau tak pernah menyukai malam. Tapi aku bukan bintang dan bulan yang bisa menerangimu, kau tertutup awan hitam yang selalu enggan memancarkan sinar sang bintang. Kau adalah malam yang pekat, Antra.

Kira, kakiku sudah lelah melangkah mencarimu. Berapa jauh lagi aku harus melangkah Kira? Kira sekarang aku kembali ke tempat kita bertemu dulu, tapi kau tak ada juga di sini. Kemana lagi aku harus mencarimu, Kira? Kira tak ingatkah kau akan masa indah kita dulu? Kita seperti sepasang merpati yang selalu setia dengan pasangannya. Kau selalu membacakan puisi-puisi yang indah untukku, Kira dan aku selalu memberikan kecupan manis setelah kau selesai membacakan puisi untukku. Kira tak ingatkah kau masa-masa itu?

Antra aku selalu ingat sosokmu saat kita masih muda. Waktu itu aku selalu menganggap kau adalah malaikat yang turun ke bumi. Kau begitu misterius, dan selalu menyembunyikan masa lalumu. Seakan kau benar-benar malaikat yang terbuang ke bumi, yang tak mau menceritakan kenapa Tuhan mengirimmu ke bumi, aku selalu berpikir apakah Tuhan memang begitu Maha Agung yang mengetahui bahwa hambanya ini membutuhkan cinta sehingga dia mengirim malaikat untukku. Tapi aku salah. Kau memang malaikat, tapi malaikat yang terbuang dari surga karena mempunyai sifat yang menakutkan di balik wajah yang rupawan. Malaikat terbuang yang mempunyai dua kepribadian yang saling bertolak belakang. Apakah kepribadianmu yang menarik dan menyenangkan hanya untuk menjebak korbanmu saja?

Masih ingatkah saat kau memimpikan rumah idaman kita yang kelak akan diisi dengan anak-anak kita, Kira? Kita membangun rumah ini persis dengan impianmu bukan, Kira? Bukankah ini rumah yang selalu kau idam-idamkan, Kira? Tapi kenapa kau tak betah tinggal di rumah idamanmu ini? Kenapa kau pergi?

Antra kau membangun rumah yang indah untukku, untuk keluarga kita nantinya. Rumah yang kau buat sama dengan impian kita saat kita masih muda. Rumah yang tidak terlalu besar dengan pekarangan yang luas, yang berisi dengan pohon dan buah, supaya kita bisa dengan mudah menikmati buah-buahan yang segar hasil kerja keras kita. Oh Antra rumah itu sangat indah. Tapi aku tak bisa tinggal di rumah itu denganmu. Kau telah membuat rumah itu mencekam dengan adanya dirimu yang lain di rumah itu. Antra seandainya sosok iblismu tak ada dalam dirimu, aku yakin kita akan hidup bahagia di rumah itu, Antra. Aku yakin…

Kira aku melangkah menuju rumah kita, berharap kau ada di rumah, menantiku dengan senyuman, pelukan, dan ciuman yang hangat dari bibirmu yang merah.

Maafkan aku Antra aku akan pergi jauh dan aku tak sempat berpamitan kepadamu. Bagaimanapun kau adalah pria yang kucintai, sampai sekarang pun aku tak bisa lepas dari sosok malaikatmu. Antra aku rindu padamu, tapi aku tak bisa lagi bertemu denganmu. Hatiku masih menolakmu. Tapi hati ini juga sakit bila memikirkanmu. Selamat tinggal Antra…

“Dokter pasien di kamar 18 bunuh diri.”
“Siapa? Kalau begitu lekas hubungi keluarganya!”
“Kirana, Dok. Setahu saya dia tak punya keluarga lain selain suaminya yang entah berada di mana, dok.”
“Ah, si cantik Kirana. Baiklah, urus saja pemakamannya.”

Kiraaaa….. Aku berteriak di rumah kita kau tak menjawab. Kucari kemanapun di setiap sudut rumah kita, kau tak kutemukan juga, Kira. Dimana sebenarnya kau? Kenapa tega kau meninggalkanku sendirian di sini. Di rumah yang kubangun untukmu. Kira tak kau hargaikah kerja kerasku selama ini? Kubangun rumah ini untukmu, tapi, kau tak ada di sini. Percuma Kira, percuma. Seindah apapun rumah ini, semegah apapun rumah ini semuanya hampa tanpa kehadiranmu, Kira. Bukan kau yang menjadi pelengkap rumah ini, Kira. Tapi, rumah inilah yang menjadi pelengkap keindahanmu. Kira kembalilah!

“Dokter, ada pasien baru.”
“Siapa? Gila karena apalagi? Ah, di negeri ini memang sudah terlalu banyak orang gila! Bisa-bisa dokter yang mengurusi orang gila nanti juga gila!”
“Namanya Antra, dok! Di jalan dia memukuli wanita tanpa alasan. Para tetangganya yang membawanya kemari, dok.”
“Lalu keluarganya?”
“Tidak Tahu, dok. Kata tetangganya dia hanya mempunyai seorang istri yang tidak pernah keluar rumah, sehingga para tetangga pun tak tahu siapa istrinya, dok.”
“Baiklah coba suruh orang atau polisi periksa rumahnya. Jangan-jangan istrinya dia bunuh di rumah. Orang gila sekarang memang beraneka ragam.”
“Baik, dok!”

Kira mereka membawaku ke tempat yang sama sekali asing bagiku. Aku diberi pakaian putih-putih. Kira semua orang yang berada di tempat ini aneh, mereka berlaku sesuka hati mereka. Mereka semua berbicara tak karuan. Oh Kira kemarilah, selamatkan aku dari tempat ini. Kira aku kesepian. Aku takut berada di tempat ini. Setiap hari mereka memberiku obat yang tak kutahu untuk apa itu. Kira, mereka tak mengijinkan aku keluar dari tempat ini untuk bertemu denganmu. Mereka bilang kau ada di sini, jadi aku tak perlu mencrimu kemana-mana lagi. Benarkah yang mereka kataka, Kira? Benarkah kau berada di sini? Kalau benar mengapa kita berada di sini? Apakah mereka juga memaksamu? Oh, Kira aku kesepian.

“Dokter, pasien yang baru masuk memukul setiap wanita yang ada di rumah sakit.”
“Ah, pasien baru itu memang punya kecenderungan melakukan tindakan kekerasan. Segera masukkan ke kamar yang baru saja ditinggalkan si cantik Kirana.”

Kira.. Ternyata kau benar-benar berada di sini, ternyata apa yang mereka katakan benar. Sudah lama aku mencarimu, aku senang sekali bisa bertemu lagi denganmu, Kira. Oh, Kira kemarilah datang padaku. Mari kemarilah, aku akan menceritakan padamu masa lalu yang selalu kusembunyikan, yang tak pernah kukatakan pada siapapun, kini akan kuceritakan padamu. Karena kau, Kira, wanita yang paling kucintai di dunia ini. Kemarilah, Kira duduklah di sebelahku.

Kira, kau tahu, ibuku adalah wanita yang cantik, sangat cantik. Seperti kau Kira, ya seperti kau. Sifatnya pun mirip denganmu, baik, selalu melindungiku dan menemaniku kemanapun aku pergi. Setiap aku ingin tidur, ibu bersenandung untukku, mencium keningku dan mengucapkan selamat malam untukku. Kira tak ada wanita lain secantik dan sebaik ibuku seumur hidupku, sampai aku menemukanmu. aku selalu merasa kau adalah ibuku yang turun lagi ke bumi untuk menemaniku. Kau tahu Kira, dulu ayahku adalah orang yang sangat jahat. Dia suka sekali memukulku, dan ibulah yang selalu membelaku, hingga ibu pun sering mendapat pukulan dari ayahku. Kira, ibuku meninggal di pangkuanku, dengan senyuman yang indah dari bibirnya yang merah karena darah. Oh, Kira saat itulah ibuku terlihat sangat cantik di mataku, di mata seorang anak yang berumur sembilan tahun. Ayahku, Kira, bersedih ketika melihat ibuku. Itulah pertama kali aku melihat ayahku menangis. Ayahku menangis dan ia menjatuhkan pemukul baseball yang digunakan memukul ibuku, kemudian Kira, ayah mengambil tubuh ibu dari pangkuanku. Tentu aku tak mau melaepaskan ibuku, aku tak mau ibuku direbut dari pangkuanku, tapi ayah tak peduli, dia mendorongku, mengangkat tubuh ibu, dan menguburkannya di halaman belakang. Setelah itu ayah pergi Kira, pergi jauh meninggalkanku sendiri. Aku tak menangis, Kira, tidak! Aku kuat, itulah yang selalu ibu katakan kepadaku, Kira. Aku tak pernah menangis ketika ayah memukulku, dan ibu bangga padaku karena itu. Kira, ibuku baik bukan?
Kenapa kau diam saja, Kira? Oh kau memang pendengar yang baik Kira. Kau selalu mendengarkan keluh kesahku. Setelah itu Kira, aku tinggal bersama bibiku. Kira dia seperti ayahku, dia suka memukulku. Pikirku semua wanita seperti ibuku, Kira, ternyata tidak. Tentu saja, kecuali kau Kira, hanya kau wanita yang mirip ibuku.
Ah, kenapa Kira? Kenapa aku selalu memukulimu? Kenapa aku melakukan tindakan yang sama seperti ayah dan bibiku? Kapan, Kira? Kapan? Aku tak ingat pernah memukulmu. Ah, aku tahu,Kira, itu pasti bukan aku. Itu pasti ayahku, aku tak pernah memukul seorang wanita, Kira. Akhirnya aku tahu dimana ayah pergi, dia tidak pergi kemana-mana. Ayah tak pergi jauh, dia berda di dlaam diriku, menyiksamu sama seperti ketika ayah menyiksa ibu. Oh, Kira maaafkan aku, kau tahu aku tak akan pernah memukulmu. Percayalah itu bukan aku, Kira. Percayakah kau padaku, Kira? Tentu saja kau pasti percaya padaku, Kira.
Apa, Kira? Kau ingin aku ikut kau? Kemana Kira? Ke tempat yang indah? Aku bisa bertemu ibuku di sana? Tentu, tentu aku mau Kira. Asalkan aku bisa bersamamu dan ibu aku mau. Baik Kira, tunggu aku Kira. Oh, Kira bahagianya aku bisa bertemu denganmu lagi, Kira. Kau tahu Kira hanya kau dan ibuku lah wanita yang paling kucintai di dunia ini. Aku akan senang bisa bersama denganmu selamanya…

“Dokter, pasien baru itu juga bunuh diri!”
“Pasien baru yang mana? Rumah Sakit ini penuh dengan orang jiwa baru, yang mana?”
“Itu, dok, pasien yang suka memukuli wanita, yang baru saja di pindah ke kamar 18.”
“Kamar itu lagi? Siapa namanya?”
“Antra, dok.”
“Oh, ya. Antra. Lalu bagaimana tentang penyeldikan di rumahnya? Apakah mereka menemukan istrinya di sana?”
“Mmm.. itu anu, dok.”
“Anu apa? Kalau bicara yang jelas!”
“Istrinya tidak ditemukan di rumahnya, dok.”
“Lalu maksud kamu dia sudah minggat dari rumah itu? Ya wajar kalau suaminya seperti itu.”
“Istrinya dulu pasien sini, dok.”
“Ha? Istrinya orang gila? Wah klop, orang gila menikah dengan orang gila. Lalu siapa istrinya? Memang sekarang dia sudah waras? Kok pakai kata-kata dulu.”
“Iya dok, dulu. Sekarang dia sudah meninggal. Istrinya dulu kemari atas inisiatif sendiri dan minta kamar khusus dan akhirnya bunuh diri di kamar itu, dok. Di kamar 18. Sama seperti kamar yang diempati pasien itu.”
“Ah, si cantik yang malang. Kirana.”

Selengkapnya...

Ansgarius

Aku merasa kacau hari ini, pikiranku mampet, ide-ide tak keluar dari otakku, aku memutuskan untuk pergi berjalan-jalan. Berjalan tanpa tahu arah yang kutuju, hanya mengikuti kemana kakiku akan melangkah. Aku keluar dari halaman rumahku menuju jalan raya yang sama sekali tak ramah, berjalan melewati pengemis yang meminta-minta belas kasihan orang lain dengan wajah memelas. Ah, itu hanya pura-pura, pikirku. Memang sekarang mengemis menjadi lahan pekerjaan yang menggiurkan, kita tidak perlu bersusah payah berusaha, hanya meminta belas kasihan orang dan bakat akting, dan kalau perlu luka palsu, bisa mendapat seratus ribu per harinya. Menggiurkan, bukan? Resikonya hanya bermandikan panas sang surya yang kian hari kian angkuh memperlihatkan kekuatannya. Para pengemis itu, bisa jadi di kampung halamannya adalah orang kaya dengan rumah mewah dari hasil mengemis di kota besar ini, membuat para tetangganya iri, dan ikut-ikutan seperti pendahulunya yang sudah sukses di kota. Mengemis, dan jadilah kampung halaman itu kampung pengemis. Bisa jadi.


Aku melewati pengemis itu tanpa memberikan sepeser uang pun padanya. Aku naik ke atas jembatan penyeberangan dimana banyak pengemis mencari penghasilan di situ, kuacuhkan mereka. Aku berhenti di jembatan penyeberangan, tak kugubris setiap pengemis yang memohon belas kasihan kepadaku. Dari jembatan penyeberangan ini aku melihat gedung-gedung yang menjulang tinggi seolah menantang langit, dimana orang berdasi berduyun-duyun masuk ke gedung itu, bekerja dengan otak. Berbeda dengan para pekerja lapangan yang bekerja dengan otot, sangat berbeda pula dengan pengemis yang mengandalkan tampang memelas mereka. Siapa yang lebih baik? Aku tidak bisa menentukan. Jalanan penuh dengan mobil mewah, dan sepeda motor, membuat kemacetan bukan lagi menjadi sesuatu yang spektakuler, tak perlu penanganan khusus, kemacetan hal yang lumrah dari kota yang mempunyai banyak penduduk. Di jalanan yang sudah tergilas roda berbagai macam kendaraan itu tampak pula petugas kebersihan sibuk menyapu, membersihkan jalan dari sampah yang dibuang seenaknya oleh para pengguna jalan. Mungkin, para petugas kebersihan itulah pekerja terbaik. Bekerja bukan hanya demi diri sendiri tapi juga demi orang lain, pekerjaan yang dianggap rendah tapi mulia.
Aku mengalihkan pandangan mataku ke arah seberang jalan, di sana kulihat para pemulung menambang. Menambang sesuatu yang berharga. Bukan emas, bukan berlian, hanya sampah yang bisa didaur ulang. Mereka seringkali dianggap seperti orang kusta jaman dulu. Diasingkan. Tidak diijinkan memasuki suatu wilayah, komplek yang bertuliskan “PEMULUNG DILARANG MASUK.” Orang-orang komplek takut barang mereka akan dicuri para pemulung. Bukan salah pemulung mencuri barang-barang di rumah mewah, toh hanya sandal atau tanaman mahal, yang sekiranya bisa masuk ke dalam karung. Orang-orang kaya bisa mengeluarkan banyak uang untuk hal yang tak perlu, membeli tanaman berjuta-juta, sedangkan bagi pemulung? Bersyukur mereka bisa makan hari ini, tanpa perlu berpikir anak mereka bisa sekolah atau tidak. Yang penting bisa cari uang untuk makan, itu sudah cukup.
Benarkah menjadi manusia itu enak? Lebih enak dari binatang? Bukankah binatang tak perlu membayar untuk makan, tak perlu membayar untuk minum, tak perlu membayar untuk buang air. Binatang tak perlu mengeluarkan sepeser uang pun untuk membeli sesuatu yang tidak bisa mengenyangkan mereka. Para binatang tak perlu menjatuhkan harga diri mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka, apalagi menikam teman bahkan saudara. Kalau Manusia? Jangan tanya.
Kakiku masih belum merasa lelah untuk berjalan, aku meneruskan perjalanku. Iring-iringan mobil polisi dengan sirene yang menderu-deru menggusur setiap pengguna jalan yang lain. Orang besar mau lewat, orang kecil minggat! Pedagang besar mau pakai lahan, pedagang kecil buang! Siapa sekarang yang berkuasa di negeri ini? Dulu penjajah, sekarang? Perbudakan, kerja rodi, romusha sekarang pun masih ada hanya berganti nama saja, sedikit diperhalus. Aku berhenti sebentar hanya untuk melihat siapa orang besar yang akan lewat. Bukan untuk mengagumi, hanya kalau beruntung bisa menikmati wajah yang puas dengan kekuasaan di balik mobil mewah, dan kawalan polisi bertampang kejam, seakan siap menghajar siapapun yang menghalangi jalan si wajah puas dan berkuasa. Mereka tak peduli walau si penghambat adalah sopir becak yang sedang membawa istrinya ke bidan untuk kelahiran anak pertamanya. Ironi memang.
Sudah puas aku melihat iring-iringan itu, sayang aku tak bisa melihat wajah sang kuasa. Dia tertutup rapat di balik kaca hitam, mungkin terlalu malu akan dirinya sendiri sehingga tidak mau memperlihatkan mukanya di jalanan. Sang surya mulai condong ke arah barat, sinarnya mulai tertutup gedung-gedung tinggi. Sang surya merasa sudah puas membakar kulit manusia hari ini, tapi sang surya masih berbaik hati. Dia meninggalkan kenang-kenangan berupa langit yang berwarna kemerahan, warna yang indah. Manusia masih diberi kesempatan menyaksikan warna yang indah sebelum kegelapan menggantikan terang.
Aku melanjutkan perjalananku, aku masih ingin meneruskan perjalananku. Mencari inspirasi, mencari sesuatu yang hilang dalam diriku. Dadaku sesak ketika kegelapan bersiap-siap menguasai negeri ini, aku perlu berhenti. Kali ini aku lelah. Aku melihat taman kota yang indah di depan sana, aku memutuskan berjalan menuju ke taman kota itu. Aku tak tahu ada taman kota seindah ini di kota yang penuh dengan gedung tinggi ini. Ah, kapan taman ini dibangun? Benarkah pemerintah membangun taman ini? Kalau taman di sekitar apartemen mewah wajar, tapi di sini? Tak ada bangunan yang menghalangi. Semua penuh dengan pepohonan yang tinggi dan alami, taman bunga, air mancur dengan air yang keluar dari panah cinta malaikat cupid. Ah, indah sekali taman ini, kenapa aku baru tahu sekarang?
Aku duduk di bangku taman kota itu. Melihat sekeliling, banyak anak-anak bermain di taman pasir berusaha membentuk kastil, calon insinyur muda, kataku dalam hati. Di sisi lain nampak seorang pria kurus namun menggunakan pakaian yang sangat indah dengan wajah yang merona terang, kemudian wanita berpakaian sederhana yang membuatnya tampak bersahaja sedang melihat anaknya bermain pasir. Ah, indah sekali taman ini. Entah kenapa aku mulai membayangkan kehidupan masa laluku, suasana tempat ini seakan mengajakku kembali ke masa lalu. Waktu itu aku hanyalah penulis miskin yang hanya hidup dari tulisan yang tak pernah best seller. Aku tidak pintar berdagang, aku tidak menguasai manajemen, aku tidak tahu banyak tentang mesin, aku hanya bisa berimajinasi, karena itulah alasanku menjadi penulis lepas, hanya bisa berimajinasi. Menuangkan semua imajinasiku ke dalam tulisan dan menjualnya.
Saat aku membayangkan masa lalu seorang tua dengan pakaian yang sangat sederhana menghampiriku, dia duduk di sebelahku.
“Boleh saya duduk di sini?” katanya meminta ijin untuk duduk di sebelahku, dan kujawab hanya dengan anggukan kepala.
Kupandangi orang tua itu sebentar, wajahnya cerah dan bercahaya. Benar-benar orang tua yang kharismatik, sulit untuk menemukan seseorang seperti dia. Kulihat orang itu menerawang jauh, dengan kedua tangannya menggenggam erat tongkat pemandunya yang masih berdiri tegak di depannya. Dia mengalihkan pandangannya ke arahku dan tersenyum.
“Bagaimana kabarmu hari ini, anak muda?” tanya orang tua itu kepadaku.
“Baik, cuma sedikit lelah,” kataku yang langsung mengalihkan pandanganku ke orang-orang di sekelilingku lagi .
“Ah, ya. Itu terlihat dari wajahmu, anak muda. Indah bukan tempat ini?”
“Ya, saya baru tahu ada tempat seperti ini di kota,” kataku yang masih tetap tak melihat orang itu, masih mengagumi keindahan taman kota yang seperti surga.
“Yah, hanya sedikit orang yang tahu tempat ini,” jawabnya singkat.
“Sudah berapa lama taman ini dibangun?” tanyaku yang kini melihat kembali wajah terang dan menyejukkan siapapun yang melihatnya itu.
“Sudah lama.”
“Aneh. Kenapa saya sama sekali tak pernah tahu tempat ini.”
“Memang aneh, tapi tak seaneh dengan hidup yang kamu jalani. Semua yang menyangkut tentang kehidupan dan segala aspek yang ada di dalamnya itu aneh, bila kamu memikirkan dengan otak. Semua itu tidak akan menjadi aneh bila kau memikirkannya dengan hati. Otak terbatas kapasitasnya, tapi hati tak terbatas.”
Orang tua itu berkata sesuatu yang membuatku bingung. Tapi aku tak menyanggahnya, aku masih merasa sungkan.
“Bagaimana perasaan hatimu sekarang, anak muda?” tanyanya lagi.
“Biasa. Tidak ada yang istimewa.”
“Benarkah demikian? Raut mukamu tak mengatakan hal itu. Kamu tidak hanya kelelahan anak muda, kamu sepertinya mempunyai masalah berat. Ceritakanlah pada orang tua ini.”
Aku diam sebentar. Memang aku mempunyai banyak masalah hari ini, tapi siapa orang tua ini? Apakah dia bisa kupercaya? Aku baru saja kenal dia, tapi entah kenapa rasanya aku ingin menceritakan semua pengalaman hidupku kepadanya.
“Ya, anda benar. Saat ini saya tidak hanya lelah fisik, tapi juga pikiran. Terlalu banyak masalah yang menumpuk di pikiran saya.”
“Masalah seperti apa?” tanyanya seperti menginterogasiku.
“Saya merasa melupakan sesuatu, entah apa itu saya tidak tahu. Hidup saya sekarang sudah bahagia, saya sekarang sudah bisa membeli apapun yang saya miliki. Saya tak pernah kurang apapun, tapi saya selalu merasa saya melupakan sesuatu.”
“Benarkah, kamu sudah sangat bahagia?”
“Saya sangat bahagia, tidak tahukah anda? Apakah kebahagiaan saya tidak dapat anda lihat dari wajah saya?”
“Maaf, saya kurang bisa melihat kebahagiaan dari wajah seseorang. Saya hanya bisa melihat kebahagiaan dari hati seseorang, karena wajah bisa menipu sedang hati tidak.”
“Anda gila, mana bisa anda melihat hati saya. Perasaan dalam hati seseorang itu tak dapat ditebak.”
Orang itu hanya tersenyum kecil yang kuanggap sebagai senyum sinis.
“Kalau begitu saya tanya pada anda, apakah anda bahagia?” tanyaku balik.
“Saya bisa saja mengklaim demikian, tapi saya ingin mendengar pendapatmu terhadap saya. Nilailah saya, apakah saya bahagia atau tidak.”
Saya melihat orang itu secara menyeluruh, dari pakaiannya yang sama sekali jauh dari mewah, rambutnya pendek dan disisir kebelakang, dan wajahnya dengan senyum yang bisa menawan banyak wanita.
“Seperti kata anda tadi, wajah bisa menipu. Senyum anda saya tidak yakin adalah senyum yang tulus dari seorang yang bahagia. Melihat pakaian anda saya rasa anda selalu dalam keadaan susah.”
“Anak muda, kamu benar bila saya terlihat susah, bila melihat dari apa yang saya kenakan. Tapi apakah kamu bisa tahu suasana hati saya sekarang?”
“Bagaimana saya bisa menilai hati anda? Dalamnya laut dapat diukur, dalamnya hati siapa tahu?” Orang tua ini aneh, tapi entah kenapa saya tidak bisa marah kepadanya.
“Benar katamu, anak muda, dalamnya hati siapa tahu. Bahkan kita sendiri pun tak tahu dalamnya hati kita sendiri. Kita selalu terlena dengan apa yang bisa menyenangkan jasmani kita, walaupun kesenangan itu bersifat semu. Kebahagiaan yang kita dapat membuat kita melupakan semuanya, orang-orang di sekitar kita, masa lalu kita, bahkan diri kia sendiri. Bukankah kamu juga demikian, anak muda?”
“Apa maksud anda. Anda pikir saya tak bahagia sepenuhnya?”
“Hanya kamu yang tahu.” Jawab orang tua itu singkat.
“Baiklah, saya akan bercerita siapa saya. Saya adalah orang yang sudah berkecukupan. Saya seorang penulis, saya bahagia menjadi penulis. Saya bisa mengatur kehidupan tokoh ciptaan saya sesuka hati. Saya bisa menjadi tuhan dengan mengatur kehidupan setiap tokoh, menggariskan takdir tokoh itu. Bila saya tidak suka seseorang, saya bisa membuat orang itu menjadi tokoh saya. Saya bisa membuat kehidupannya merana, mati dengan sangat sadis. Bila saya suka pada wanita, saya ciptakan tokoh yang mirip dengannya, saya bisa menjadi pemeran tokoh dalam tulisan saya sendiri, saya bisa mencumbu wanita itu habis-habisan. Bila saya tidak suka pada pemerintahan saya akan sindir habis-habisan dalam tulisan saya. Sekarang demokrasi, saya bisa bebas melukiskan apapun. Dan saya sangat bahagia apabila tulisan saya dijadikan film, saya bisa melihat tokoh ciptaan saya melalui layar kaca, seperti Tuhan melihat kehidupan yang diciptakannya. Saya benar-benar menjadi tuhan. Dulu saya penulis miskin, sekarang saya mempunyai segala-galanya. Tulisan saya laris manis di pasar, tulisan saya sekarang disukai banyak orang.” Aku diam sebentar melihatnya masih tersenyum, senyum yang benar-benar menghangatkan.
“Anak muda, memang kamu sekarang sukses, kamu bisa menggariskan takdir tokoh-tokohmu, tapi apakah kamu benar-benar bahagia? Bukankah tadi kamu mengatakan bahwa kamu merasa kehilangan sesuatu anak muda? Kamu kehilangan apa anak muda?”
Benar kata orang tua itu, aku merasa kehilangan sesuatu. Aku masih belum tahu kehilangan apa.
“Anak muda, apakah kamu sudah beristri? Kamu punya teman?”
Aku tahu sekarang. Aku kehilangan istriku, anak-anakku, dan teman-temanku.
“Saya tahu sekarang, saya kehilangan istri, anak, dan teman-teman saya,” kataku dengan menunduk, sama seperti anak kecil yang ketahuan bersalah oleh ayahnya.
“Kenapa kamu bisa kehilangan mereka?”
“Saya terlalu serakah, saya terlena seorang wanita muda yang ternyata hanya mengencani saya sebagai penulis terkenal. Bukan saya seutuhnya. Saya tega meninggalkan istri dan anak hanya karena wanita jalang. Kenapa saya bisa melupakan mereka?” Aku menangis sejadi-jadinya. Aku ingat masa laluku yang hilang. Mereka yang sebenarnya kucari selama ini, bukan ide atau apapun. “Dulu mereka yang menjadi pemompa semangat saya, hingga saya menjadi terkenal. Saya juga meninggalkan teman-teman saya. Saya terlalu sibuk mengurusi tokoh saya, terbuai dalam imajinasi hingga melupakan kehidupan nyata. Bahagia karena bisa menjadi tuhan dalam kehidupan semu. Dari mereka sebenarnya ide saya tercipta, tapi saya melupakan mereka semua.”
Suara alam mulai memenuhi gendang telingaku, suara yang indah, suara yang menenangkan hati.
“Anak muda, hidupmu bukan untuk dirimu sendiri. Tuhan Sang Pencipta alam dan segala isinya tidak menciptakan manusia untuk dirinya sendiri. Tuhan mengirimkan manusia ke bumi untuk orang lain,” kata-kata orang tua itu semakin dalam menusuk. Membuatku merasa bersalah. ”Kamu salah bila kau merasa bisa menjadi tuhan. Tuhan menciptakan manusia sesuai citranya. Tuhan memang menggariskan takdir setiap manusia, tapi Tuhan tidak menciptakan manusia yang tidak bisa berkehendak sendiri. Apakah manusia akan menjalani takdirnya atau melenceng jauh dari takdir, manusia yang menentukan sendiri. Itulah alasan mengapa manusia mempunyai pikiran dan hati. Tuhan tidak pernah menggariskan manusia mati bunuh diri atau overdosis, itu adalah keinginan manusia itu sendiri. Tuhan tak pernah menggariskan manusia berbuat jahat dengan mencuri, memperkosa, atau membunuh, itu adalah buah pikiran mereka sendiri. Kau tentu tak bisa membuat hal seperti itu dalam tulisanmu, bukan? Kau hanya bisa membuat mereka bertindak sesuai kehendakmu, tapi Tuhan membuat ciptaannya mandiri. Sama seperti orang tua yang akan melepas anaknya ketika dia sudah dewasa. Apakah anak itu akan durhaka atau berbakti pada orang tuanya, anak itu sendiri yang menentukan. Tokohmu tak akan bisa berkehendak sendiri dan menentangmu, bukan? Kenapa kau bisa terlena dengan tokoh imajinasimu itu, hingga melupakan kehidupan nyatamu?”
Aku diam, menangis. Semua masa lalu berputar dalam ingatanku.
“Anda benar, anda membuka mata saya yang telah lama buta. Selama ini saya hanya manusia bodoh yang bergelut dengan imajinasi dan melupakan dunia nyata. Melupakan diri saya sendiri, melupakan orang terdekat saya. Oh, Tuhan, maafkan hambamu ini.”
Aku masih menangis, mengingat semua kebodohanku itu.
“Sudahlah anakku,” katanya, kemudian dia pergi meninggalkanku begitu saja.
Aku masih tak beranjak dari taman itu, aku masih menangis ketika seorang anak kecil datang menghampiriku.
“Paman kenapa menangis?” tanya anak kecil itu dengan polosnya.
“Tidak apa-apa, dik. Lho kok sendirian mana ibumu?”
“Semua orang di taman ini saudaraku, paman juga saudaraku. Semua ibuku, semua ayahku, semua kakakku, semua adikku,” kata-katanya membuatku bingung. “Paman tidak boleh menangis, di tempat ini semua orang bahagia. Tidak ada yang sedih.”
“Ah, kamu benar. Paman tidak boleh menangis, paman akan memulai sesuatu yang baru. Kenapa adik malam-malam masih di sini? Nanti diculik, lho?” Anak kecil ini mengingatkanku pada anakku, yang hanya kuberi harta bukan cinta.
“Hihi..paman lucu, di taman ini tak ada siang, tak ada malam. Semua tergantung suasana hati paman. Paman bersedih taman ini akan menjadi gelap, paman senang taman ini akan terang benderang. Paman juga tak perlu takut. Tidak ada penjahat di taman ini, semua orang baik,” kata-kata anak ini semakin membuatku bingung, dan kulihat sekelilingku cahaya sudah memenuhi taman ini. Aneh, bukankah tadi masih malam, waktu aku berbicara dengan orang tua itu? Kenapa sekarang sudah siang kembali? Apakah aku berbicara terlalu lama?
“Aduh, dik, kelihatannya paman terlalu lama di sini. Paman harus pulang dulu.”
“Paman mau pulang? Pulang kemana? Di sini tempat paman yang baru.”
“Apa maksud adik?” Ini semua membuatku bingung, lalu selembar koran jatuh di bawah kakiku. Aku ambil koran itu, berita di koran itu mengatakan seorang penulis terkenal terkena serangan jantung. Warga segera membawanya ke rumah sakit. Penulis itu bernama Antra Samudra. Itu aku, aku masih sehat di sini kenapa dikabarkan terkena serangan jantung. Kubaca tanggal koran itu, 03 januari 2009, itu satu hari setelah aku pergi keluar rumah, dan pergi ke taman ini. Sebenarnya dimana aku sekarang? Aku merasa kepalaku berat, pusing, dan akhirnya tak sadarkan diri. Perlahan-lahan kesadaranku pulih, tapi semua putih. Mataku hanya bisa menangkap warna putih. Samar-samar aku mendengar tangisan, dan aku kenal suara-suara itu. Suara itu tak asing lagi bagiku, tapi kenapa aku tak bisa menggerakkan tubuhku, kenapa ini? Dan kenapa sekarang semuanya serba putih? Sebenarnya dimana aku sekarang?

Surakarta, 5 Januari 2009


Selengkapnya...

Ansgarius

Setelah memacu mobilnya selama dua jam akhirnya dia sampai juga di tempat yang ia tuju. Yorke Ville. Yorke Ville adalah desa para peternak, khusunya sapi, karena memang Yorke Ville adalah padang rumput yang cukup subur. Aturan pemerintah mengenai wilayah harus mempunyai keunggulan absolute juga merupakan salah satu hal kenapa Yorke Ville mengkhusukan diri sebagai desa peternak sapi. Walaupun berlabel desa tapi kehidupan rakyat di Yorke Ville cukup makmur dengan fasilitas yang tak beda jauh dengan kota. Hanya bedanya di Yorke Ville rumah-rumah cukup sederhana paling tinggi hanya mempunyai dua lantai, dan pertokoan dibuat sesederhana mungkin. Walikota Yorke Ville pun telah membuat desa ini menjadi desa wisata di mana pada bulan tertentu, khusunya liburan sekolah, desa ini banyak dikunjungi untuk mengenal lebih jauh tentang alam dan ternak sapi. Hal ini cukup sukses dengan mulai banyaknya motel yang ada di Yorke Ville yang oleh walikota dipusatkan di daerah tertentu agar tidak terlalu mengganggu kegiatan para peternak dan secara otomatis menata ruang wilayah Yorke Ville menjadi lebih baik dan rapi.


Segera setelah sampai di Yorke Ville Antra langsung mencari motel yang dimaksudkanoleh informannya. White Cow. Setelah menemukan motel itu dia segera memarkir mobilnya di tempat parkir. Motel White Cow cukup luas dengan desain bergaya pedesaan asli. Di atas pintu masuk tampak gambar sapi yang sedang tersenyum dan tulisan selamat datang di atas gambar sapi itu.
Antra segera melangkah menuju meja resepsionis. Seorang Pria berjambang tebal dan berambut coklat dengan tatapan yang ramah menyunggingkan senyum sembari menawarkan kamar yang kosong untuknya.
“Kamar 24 kosong?” tanya Antra pada penjaga motel itu.
Kemudian sang penjaga membuka-buka buku tamu dan melihat apakah kamar yang dipesan Antra sudah mengisi. Setelah dia melihat tak ada yang mengisi Antra segera memesan kamar itu dan penjaga itu memberikan kunci kamar padanya.
“Berapa lama anda akan tinggal?” tanya sang penjaga yang sedang mencatat data-data Antra di buku tamunya.
“Aku tak tahu pasti,” jawab Antra. Saat Antra menjawab itu matanya melihat nama Arnie Bringham di kamar nomor 23. Kliennya.
“Kalau begitu nanti kami akan memberikan penagihan sewa kamar di saat anda akan meninggalkan motel ini. Sebagai jaminan anda diwajibkan membayar sejumlah uang sewa selama sebulan, yang nanti bila uang tersebut berlebih karena anda meninggalkan sebelum jangka waktu yang ditentukan uang anda akan kembalikan.”
Antra mengangguk kemudian membayar sejumlah uang yang diminta sang penjaga. Penjaga kemudian menyimpan uang tersebut beserta kartu identitas Antra dan meletakkannya di dalam box.
“Baiklah, selamat menikmati Yorke Ville. Apabila anda butuh guide kami siap menyediakannya untuk anda.”
“Saya rasa tidak perlu,” kata Antra yang kemudian menuju kamarnya.
Di dalam kamarnya Antra membuka buku yang berisi tentang informasi gadis yang kali ini menjadi kliennya.
Arnie Bringham, putri tunggal keluarga Bringham. Ayahnya adalah seorang anggota Dewan Rakyat Mortpory yang sudah lama berkecimpung di dunia politik. Bakat Arnie sedikit berbeda dengan ayahnya walaupun dia juga seorang aktifis di kampusnya dulu. Dia gadis yang cukup mandiri dan suka pada kehidupan alam bebas. Cukup dijauhi kaum pria karena sifatnya yang keras dan tak mau kalah dari pria. Diperkirakan meninggalkan rumah karena perbedaan pendapat dengan ayahnya. Arnie juga terlalu didikte oleh kedua orang tuanya hingga akhirnya dia memiih melarikan diri dan hidup sendiri.
Antra memandang catatan itu, catatan itu tak berarti sebelum dia bertemu dengan Arnie sendiri. Catatan itu hanya gambaran secara umum bukan secara sifat. Antra lebih suka pendekatan dengan mempelajari sifat manusia karena itu akan membuatnya lebih bisa mengenal dan tahu kelebihan dan kelemahan kliennya. Antra mendesah kemudian dia menjatuhkan dirinya ke ranjang. Hari ini dia ingin beristirahat dan besok dia akan mulai bekerja.


Selengkapnya...

Label: 2 komentar | edit post